Menanam mimpi di tanah keterbatasan oleh Safana Dewi

Namaku Safana aku adalah anak yang paling dinanti dalam keluargaku. Aku lima orang bersaudara dan aku adalah anak perempuan satu satunya. Aku berasal dari Jember dan aku tinggal di sebuah desa yaitu desa Sanenrejo. Desa kami di kelilingi oleh sawah, pegunungan, dan tanaman tebu. Ayahku adalah seorang petani sedangkan ibuku adalah ibu rumah tangga. Hidup kami sederhana, tapi dibalik kesederhaan itu aku menyimpan mimpi besar. Lingkungan desaku mayoritas anak perempuan menikah muda dan aku sering mendengar omongan “Perempuan tidak perlu sekolah tinggi, nanti ujung ujungnya juga ke dapur, apalagi berasal dari desa”. Tapi orang tuaku selalu mendukungku agar aku bisa sampai ke bangku kuliah/perguruan tinggi. Di sisi lain, orang tuaku pernah di rendahkan “Kamu ga akan mampu menyekolahkan anakmu hingga ke perguruan tinggi”.

Aku tumbuh dalam keluarga yang sederhana, keluarga kami juga pernah kekurangan uang, kami hidup dari hasil panen sawah yang tidak menjanjikan. Tapi ayah dan ibu tidak pernah mengeluh, mereka selalu mengusahakan apapun agar kami bisa makan. Ketika aku menduduki Sekolah Dasar aku pernah mengalami penderitaan, dikarenakan kami belum mempunyai kamar mandi, aku harus berangkat ke sungai untuk mandi walau sungainya banjir. Saat aku menduduki bangku SMP ada salah satu teman terbaikku yang memutus sekolah karena nikah muda. Disana niatku untuk melanjutkan Pendidikan hingga perguruan tinggi mulai goyah, tapi ayah dan ibuku selalu menyemangatiku. Mereka mungkin tidak memiliki banyak uang, tapi mereka penuh dengan dukungan. Mereka berkata “Kalau kamu memang ingin melanjutkan sekolah, belajar yang rajin, urusan biaya sudah menjadi tanggung jawab kami sebagai orang tuamu”.

Setelah lulus SMP aku melanjutkan Pendidikan di Madrasah Aliyah. Saat pemilihan jurusan orang tuaku menyarankan agar aku mengambil jurusan IPA/IPS tapi di sisi lain aku merasa bahwa aku aku harus belajar agama. Pada akhirnya, aku mengikuti kata hatiku untuk mengambil jurusan agama, dan orang tuaku menyetujuinya. Karena jarak tempuh dari rumah ke sekolah sekitar 1 jam, jadi orang tuaku memutuskan agar aku tinggal di asrama sekolah. Untuk tinggal di asrama aku harus mengikuti tes terlebih dahulu. Saat akan melaksanakan tes aku diantar oleh ayahku, sepanjang perjalanan aku penuh harap dan berdo’a agar aku bisa lolos dalam tes tersebut. Selang beberapa hari setelah pelaksanaan tes, akhirnya pengumuman tes sudah keluar dan YAAA aku tidak lolos dalam tes, aku merasa kecewa pada diriku. Namun itu menjadikan Pelajaran bagiku, karena latar belakangku dari SMP yang Pelajaran agamanya hanya Pelajaran Pendidikan Agama Islam maka aku mempelajari tentang agama melalui google. Aku tidak putus asa, aku mengikuti tes gelombang kedua, saat perjalanan menuju tempat tes aku bergumam “untuk apa Allah membawaku sejauh ini jika hanya untuk gagal lagi?”. Selang beberapa minggu hasil tes sudah keluar, dan YAPPP aku lolos. Disitulah awal perjuanganku dimulai, di asrama aku mulai belajar tentang agama dan aku mulai menghafal Al-Qur’an.

Di sekolah aku sering merasa minder karena teman temanku mayoritas dari MTS sedangkan aku dari SMP. Tapi aku terus berusaha agar aku bisa, karena aku sadar bahwa ilmu adalah satu satunya jalan yang bisa membawaku keluar dari lingkaran keterbatasan ini. Disekolah ada program untuk kuliah ke Timur Tengah dan aku minat untuk mengikuti program tersebut. Hari demi hari sudah aku lewati dengan pembelajaran intensif dan pada suatu hari aku diharuskan pergi ke pare (kampung inggris) untuk mempelajari bahasa arab lebih dalam. Namun, saat aku membicarakannya dengan ibuku, beliau berkata bahwa beliau tidak memiliki biaya untuk memberangkatkanku kesana. Perasaanku langsung sedih saat mendengar hal itu, tapi ibuku selalu mengusahakan apapun untukku. Hingga suatu hari aku mendapat kabar bahwa ibuku sudah memiliki biaya untuk aku belajar kesana, dalam hatiku penuh tanda tanya “darimana ibu mendapatkan biaya tersebut dalam waktu dekat?”. Namun aku tidak berani untuk menanyakan hal tersebut, dan akhirnya aku berangkat ke pare. Saat di pare ibuku berpesan “mbak yang hemat jangan boros boros, disini ga ada penghasilan”. Setelah aku di pare 1 bulan, ibuku menghubungiku agar aku pulang dan tidak melanjutkan periode karena orang tuaku tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan ke periode berikutnya. Selepas dari pare, ibuku yang semula mengizinkan aku untuk kuliah ke Timur Tengah tetiba berubah pikiran dan tidak mengizinkanku untuk kuliah ke sana.

Pada akhirnya aku memenuhi keinginan beliau dan aku mendaftarkan diri di UNIVERSITAS yang terkenal sangat ketat seleksinya. Mungkin memang takdirku di UNIVERSITAS ini sehingga aku lolos saat pendaftaran SPAN-PTKIN. Namun aku sempat bimbang karena aku akan pergi jauh dari ayah dan ibuku. Meninggalkan mereka di rumah, namun ini semua demi masa depanku. Saat aku pulang ke desa, aku melihat teman seumuranku bahkan anak yang lebih muda dariku sudah menggendong anak. Kisahku ini tentang keberanian untuk bermimpi dan tekad untuk mewujudkannya. Keterbatasan bukanlah penghalang, tapi pijakan untuk melompat lebih tinggi. Sedikit kata dariku “Ayahku petani, ibuku ibu rumah tangga. Tapi merekalah yang menanam benih ilmu dalam hidupku dan merawatnya sampai tumbuh tinggi”.“Meski Kadang Aku Banyak Takutnya Dan Kebingungan Harus Memulai Darimana, Tapi Semangat Untuk Menjadi Sarjana Pertama Di Keluarga Ini Harus Menjadi Nyata”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *