Dalam kehidupan berbangsa di Indonesia, agama selalu menjadi elemen penting yang membentuk karakter masyarakat. Ia bukan sekadar ranah spiritual, tetapi juga menjadi identitas sosial yang melekat erat dalam kehidupan sehari-hari. Namun ketika agama masuk secara eksplisit ke dalam arena politik, dinamika yang muncul sering kali tidak sesederhana yang dibayangkan. Fenomena politik identitas berbasis agama telah lama hadir, namun dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan ini menguat secara signifikan. Kandidat dalam kontestasi politik, baik di tingkat lokal maupun nasional, tidak jarang mengaitkan diri dengan simbol dan kelompok keagamaan demi meraih dukungan. Sering kali, narasi keagamaan dijadikan pembeda yang menonjolkan kami versus mereka membingkai politik dalam garis-garis eksklusif atas dasar iman dan keyakinan.
Politik Identitas: Mengapa Semakin Kuat?
Meningkatnya peran identitas agama dalam politik tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor. Pertama, lemahnya diferensiasi ideologis antar partai politik membuat isu-isu programatik sulit menjadi pembeda. Akibatnya, banyak politisi mencari jalan pintas untuk menggalang dukungan dengan memainkan identitas yang kuat melekat pada pemilih, seperti agama. Kedua, perkembangan teknologi informasi dan media sosial memfasilitasi penyebaran narasi identitas secara luas dan cepat. Potongan video ceramah, kutipan keagamaan yang dikontekstualisasi secara politis, hingga kampanye hitam berbasis isu agama, menyebar dengan mudah dan membentuk persepsi publik. Ketiga, rendahnya literasi politik dan digital membuat masyarakat mudah terpolarisasi oleh pesan-pesan yang bersifat emosional ketimbang rasional.
Ketika Agama Menjadi Alat Politik, Agama sejatinya merupakan sumber nilai moral dan etika dalam kehidupan bernegara. Namun, ketika ia digunakan sebagai alat dalam kompetisi kekuasaan, maka maknanya dapat bergeser. Yang terjadi bukan lagi dialog nilai, melainkan penggiringan opini bahwa hanya kelompok tertentu yang mewakili “kebenaran”. Pemilu Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 menjadi contoh paling mencolok. Isu keagamaan begitu dominan, melampaui diskusi soal kinerja, visi, dan program kerja. Aksi massa, ujaran kebencian, hingga pengadilan opini publik dilakukan dengan mengusung sentimen agama sebagai senjata utama. Situasi ini menciptakan luka sosial yang tak mudah dipulihkan, bahkan hingga setelah pemilu usai. Fenomena serupa juga muncul dalam Pilpres 2019. Meskipun tidak seintens kasus Jakarta, polarisasi politik tetap terasa kuat. Masyarakat terbelah dalam dua kubu yang bukan hanya berbeda pilihan, tapi juga saling curiga dan menolak berdialog. Politik tidak lagi dipandang sebagai ajang kontestasi ide, melainkan medan pertarungan identitas.
Dampak Nyata di Masyarakat, Eksploitasi agama dalam politik menciptakan efek domino yang mengganggu kohesi sosial. Di tingkat akar rumput, banyak relasi sosial yang renggang akibat perbedaan pilihan politik yang dikaitkan dengan identitas keagamaan. Forum diskusi berubah menjadi ruang penuh kecurigaan. Bahkan di lingkungan keluarga atau komunitas, perbedaan pilihan sering kali menjadi sumber pertikaian. Di sisi lain, tokoh agama yang terlibat langsung dalam politik praktis justru menghadapi dilema. Ketika agama dijadikan instrumen elektoral, wibawa moral para pemuka agama pun terancam. Mereka tidak lagi diposisikan sebagai penyejuk atau pengayom, melainkan sebagai bagian dari permainan kekuasaan yang sarat kepentingan.
Demokrasi yang Tergelincir Demokrasi yang sehat membutuhkan keterbukaan dan penghormatan terhadap keberagaman. Dalam sistem yang demikian, kehadiran agama sebagai sumber inspirasi tentu tidak dilarang. Namun, jika agama digunakan secara eksklusif dan sektarian, maka demokrasi justru kehilangan jiwanya. Politik identitas berbasis agama cenderung menutup ruang dialog dan mempersempit ruang partisipasi. Kelompok-kelompok minoritas sering kali merasa terpinggirkan. Akibatnya, demokrasi berubah dari alat inklusi menjadi mekanisme dominasi oleh kelompok mayoritas atas dasar identitas. Menata Ulang Peran Agama dalam Politik Harus diakui, menghapus sepenuhnya pengaruh agama dalam politik bukanlah hal yang realistis di Indonesia. Namun yang perlu ditegaskan adalah pentingnya menempatkan agama secara proporsional.
Agama sebaiknya menjadi sumber etika dan moralitas publik, bukan alat untuk menghalalkan strategi politik yang memecah belah masyarakat. Untuk itu, beberapa langkah penting perlu diambil. Pendidikan politik dan literasi digital masyarakat harus ditingkatkan. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk membedakan antara ajaran agama yang universal dan narasi politik yang bersifat manipulatif. Media juga harus mengambil peran sebagai penjaga nalar publik, bukan sekadar menjadi saluran penyebar opini yang memecah belah.Selain itu, tokoh agama dan organisasi keagamaan perlu menjaga jarak dari politik praktis. Ketika tokoh agama menjaga netralitas, mereka tetap dapat menyuarakan nilai-nilai kebaikan tanpa terjebak dalam konflik politik yang merusak.
Agama dan politik identitas dalam demokrasi Indonesia ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, keduanya bisa berjalan beriringan dan memperkuat semangat partisipasi publik. Namun di sisi lain, jika tidak dikelola dengan bijak, politik identitas berbasis agama dapat mengancam keutuhan sosial dan menurunkan kualitas demokrasi. Pertanyaannya bukan lagi apakah agama harus hadir dalam politik, tetapi bagaimana kehadirannya tidak menimbulkan eksklusivitas dan konflik. Dalam negara yang majemuk seperti Indonesia, keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman. Maka dari itu, demokrasi harus dijaga dari dalam agar tidak berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan yang membelah bangsa atas nama keyakinan.