M. Ainul Shodiqin
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Indonesia
Email: shodiqseduri09@gmail.com
Informasi Publikasi
SHAUTUNA: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Mazhab
Volume 03 Issue I, Mei 2022; 219–232
ISSN: 2775-0477
DOI: 10.24252/shautuna.vi.24138
URL: https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/shautuna
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pandangan mazhab Syafi’i dan Hanafi terhadap cryptocurrency, khususnya dalam menilai apakah aset digital ini dapat diterima sebagai alat transaksi yang sah dalam Islam atau harus dihindari karena mengandung unsur gharar dan spekulasi berlebihan. Kajian ini menjadi semakin relevan seiring dengan meningkatnya jumlah umat Muslim yang menggunakan cryptocurrency dalam investasi dan perdagangan, serta adanya upaya regulasi di beberapa negara mayoritas Muslim.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan (library research), yang berfokus pada analisis sumber-sumber literatur mengenai hukum cryptocurrency dalam Islam. Data dianalisis menggunakan metode deskriptif-analitis, dengan membandingkan pandangan mazhab Syafi’i dan Hanafi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik mazhab Syafi’i maupun Hanafi menolak transaksi yang mengandung ketidakpastian (gharar) tinggi. Keduanya sepakat bahwa cryptocurrency yang bersifat spekulatif dan tidak jelas nilai maupun penyerahannya tidak diperbolehkan dalam Islam.
Kata Kunci: cryptocurrency, Mazhab Syafi’i, Hanafi
Pendahuluan
Manusia kini memasuki era baru yang ditandai dengan perubahan besar, kreativitas, dan pergeseran pola pikir. Perubahan ini didorong oleh kemajuan teknologi yang menghubungkan dunia nyata dengan ruang virtual, seperti internet, aplikasi, dan perangkat digital lainnya, serta berbagai aspek kehidupan. Transformasi ini terjadi secara global, termasuk di Indonesia, dan berdampak pada berbagai sektor, salah satunya sektor keuangan.[1] Saat ini, perdagangan mata uang digital, yang dikenal sebagai cryptocurrency, tengah menjadi perbincangan dan menarik minat banyak pihak, baik dari kalangan investor maupun masyarakat luas.
Cryptocurrency merupakan bentuk mata uang digital berbasis Peer-to-Peer (P2P) yang dapat diprogram, memungkinkan transaksi online berlangsung langsung antara dua pihak tanpa memerlukan perantara. Teknologi yang mendukung sistem cryptocurrency adalah blockchain.[2] Bitcoin memiliki nilai yang cukup tinggi dibandingkan dengan cryptocurrency lainnya dan menjadi salah satu faktor utama dalam kesuksesan dunia aset digital. Namun, secara global, transaksi Bitcoin masih menjadi perdebatan. Beberapa negara menolak keberadaannya, seperti Bank Sentral Islandia yang menganggap transaksi menggunakan cryptocurrency ilegal. Sementara itu, Bank Sentral Rusia mengingatkan bahwa penggunaan Bitcoin sebagai alat transaksi memiliki risiko terkait pencucian uang dan pendanaan terorisme. Sementara itu, di Tiongkok, Bitcoin dapat beredar secara bebas, tetapi pemerintah tetap mengingatkan perusahaan mengenai risiko penggunaannya dalam transaksi.[3]
Di Indonesia, keberadaan cryptocurrency terus menimbulkan perdebatan, baik dari segi regulasi maupun legalitasnya, terutama dalam perspektif syariat Islam yang mengatur tata cara penggunaannya. Sementara itu, Pemerintah Indonesia, khususnya Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), terus melakukan kajian terkait hal ini dan dan menerbitkan beberapa undang-undang terkait aset cryptocurrency. Cryptocurrency kerap dipandang sebagai metode pembayaran alternatif yang efisien, terdesentralisasi, dan aman. Namun, meskipun memiliki potensi teknologi masa depan yang menjanjikan, masih muncul perdebatan mengenai status hukum cryptocurrency dalam Islam, terutama dalam hal keabsahan sebagai mata uang, potensi gharar (ketidakpastian), spekulasi, serta kemungkinan terjadinya riba dan praktik ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Oleh karena itu, diperlukan kajian mendalam mengenai penggunaan cryptocurrency dalam perspektif hukum Islam.[4]
Mazhab Syafi’i dikenal dengan pendekatan kehati-hatiannya dalam transaksi keuangan, di mana kejelasan akad dan kepastian nilai merupakan aspek yang sangat ditekankan. Dalam pandangan mazhab ini, suatu alat tukar harus memiliki standar yang jelas, diterima secara umum, dan tidak mengandung unsur spekulasi berlebihan. Sementara itu, mazhab Hanafi memiliki fleksibilitas lebih dalam hal penggunaan alat tukar, dengan mempertimbangkan faktor kemanfaatan dan penerimaan di masyarakat. Perbedaan ini menjadi dasar penting dalam menganalisis apakah cryptocurrency dapat diakui sebagai mata uang yang sah dalam Islam, atau justru bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah.
Hal ini juga dapat dilihat dalam aturan perdagangan seperti jual beli emas atau perak pada masa Nabi harus dilakukan secara tunai (naq) untuk menghindari kemungkinan terjadinya transaksi riba, yang termasuk dalam kategori riba fadl. Sementara itu, penggunaan cryptocurrency dalam transaksi dan investasi masih menjadi perdebatan dalam hukum Islam, dengan adanya pro dan kontra terkait penerapannya.[5] Seperti penelitian yang dilakukan oleh Dewi Hamim (2020) dengan judul penelitian “Crypto Currensi Dan Pandangan Legalitas Menurut Islam”, ia menjelaskan bahwa eknologi Bitcoin berbasis Blockchain diakui sebagai inovasi revolusioner yang signifikan. Akan tetapi, penggunaannya sebagai instrumen investasi mengandung unsur maysir (spekulasi), sedangkan dalam transaksi bisnis terdapat unsur gharar (ketidakpastian). Oleh karena itu, hukumnya dikategorikan sebagai haram lighairihi (haram karena faktor eksternal).[6]
Di satu sisi, para pendukung cryptocurrency berargumen bahwa teknologi blockchain memberikan transparansi, efisiensi, dan keamanan dalam transaksi, sehingga dapat mengurangi praktik riba dan ketergantungan terhadap sistem perbankan konvensional. Namun, di sisi lain, ketidakstabilan nilai cryptocurrency, sifatnya yang tidak memiliki aset dasar, serta spekulasi yang tinggi menjadi alasan utama bagi sebagian ulama untuk menolak penggunaannya. Mazhab Syafi’i dan Hanafi, sebagai dua mazhab besar dalam Islam, memiliki pendekatan berbeda dalam menilai legalitas transaksi berbasis digital, termasuk cryptocurrency. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengkaji bagaimana kedua mazhab ini memandang cryptocurrency, apakah dapat diterima sebagai alat transaksi yang sah dalam Islam atau harus dihindari karena mengandung unsur gharar dan spekulasi yang berlebihan.
Penelitian ini penting dilakukan mengingat semakin banyak umat Muslim yang mulai bertransaksi menggunakan cryptocurrency, baik untuk investasi maupun perdagangan. Selain itu, beberapa negara mayoritas Muslim telah mulai mempertimbangkan regulasi terhadap cryptocurrency, baik dalam bentuk penerimaan maupun pelarangan. Dengan adanya kajian ini, peneliti berharap mampu memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang penggunaan cryptocurrency dalam perspektif mazhab Syafi’i dan Hanafi, serta memberikan rekomendasi bagi umat Islam dalam mengambil keputusan terkait penggunaan aset digital ini dalam kehidupan sehari-hari.
[1] Syafira Nurullia, “Menggagas Pengaturan dan Penerapan Central Bank Digital Currency di Indonesia: Bingkai Ius Constituendum,” Journal of Judicial Review 23, no. 2 (23 December 2021): 278.
[2] Nasruddin Khalil Harahap, Ahmad Wardana, and Abdul Aziz Harahap, “Penggunaan Cryptocurrency Menurut Perspektif Hukum Ekonomi Syariah” Jurnal Hukum Ekonomi 10, no. 1 (1 Juni 2024): 1–23.
[3] Andi Siti Nur Azizah, “Fenomena Cryptocurrency Dalam Perspektif Hukum Islam” Shautuna : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Madzhab 1, no. 1 (1 Januari 2020): 1–14.
[4] Oktobriari Sunu Wicaksono and Siti Mahmudah, “Analisis Hukum Cryptocurrency Sebagai Alat Pembayaran di Indonesia: Perspektif Yuridis,” Jurnal Preferensi Hukum 4, no. 2 (Juli 2023): 203–204.
[5] Azizah, “Fenomena Cryptocurrency Dalam Perspektif Hukum Islam,” 19.
[6] Dewi Indrayani Hamin, “Crypto Currensi Dan Pandangan Legalitas Menurut Islam: Sebuah Literature Review,” Jambura : Jurnal Ilmiah Manajemen dan Bisnis 3, no. 2 (September 2020): 147–54.
Literature Review
Terdapat beberapa penelitian dengan topik sejenis yaitu penggunaan cryptocurrency dalam perskpektif islam, diantaranya ;
- Khoiri Isnal (2024) dengan judul “Cryptocurrency dalam Perspektif Hukum Islam: Analisis Mazhab Fiqih”. Yang mana penelitian ini membahas hukum cryptocurrency dalam Islam dengan membandingkan pandangan beberapa mazhab, termasuk mazhab Syafi’i dan Hanafi. Azhari & Rahman menyoroti aspek gharar (ketidakpastian), riba, dan spekulasi dalam penggunaan cryptocurrency. Mereka menyimpulkan bahwa mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i lebih cenderung menolak cryptocurrency karena adanya unsur ketidakpastian dan spekulasi yang tinggi, sedangkan mazhab Hanafi lebih fleksibel dalam menerima inovasi keuangan selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariah.[1] Adapun persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama membahas hukum penggunaan cryptocurrency dalam Islam dengan membandingkan beberapa mazhab, sementara perbedaannya adalah penelitian tersewbut lebih berfokus pada seluruh madzhab fikih mengenai Bitcoin dan membandingkannya dengan transaksi Forex yang dianggap spekulatif, sedangkan penelitian ini bagaimana kedua mazhab ini memahami dan menyikapi penggunaan aplikasi cryptocurrency dalam transaksi keuangan modern.
- Andi Azizah (2020) dengan judul “Fenomena Cryptocurrencydalam Perspektif Hukum Islam” menyatakan bahwa MUI menjelaskan Bitcoin dalam sebelas poin, salah satunya menyebutkan bahwa di beberapa negara, Bitcoin dikategorikan sebagai mata uang asing. Secara umum, Bitcoin tidak diakui oleh otoritas dan regulator sebagai mata uang atau alat pembayaran resmi karena tidak mencerminkan nilai suatu aset. Transaksi Bitcoin sering disamakan dengan Forex, sehingga aktivitas perdagangannya bersifat spekulatif. Dalam konteks investasi, Bitcoin lebih cenderung mengandung unsur gharar (ketidakpastian yang berpotensi merugikan pihak lain) karena tidak memiliki aset pendukung, harganya sulit dikendalikan, dan tidak ada jaminan resmi atas keberadaannya. Oleh karena itu, spekulasi terhadap Bitcoin berpotensi besar diharamkan, sementara hukumnya sendiri adalah mubah (diperbolehkan).[2] Adapun persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama membahas hukum penggunaan cryptocurrency dalam Islam, sementara perbedaannya adalah penelitian tersebut lebih menekankan pada pandangan umum hukum Islam serta fatwa MUI terkait status Bitcoin sebagai mata uang dan aset investasi. Sedangkan penelitian ini lebih spesifik dalam membandingkan pandangan mazhab Syafi’i dan Hanafi terkait penggunaan aplikasi cryptocurrency, dengan meninjau apakah mekanisme transaksi dalam cryptocurrency memenuhi syarat-syarat keabsahan dalam fiqih kedua mazhab tersebut.
- Kusuma dkk. (2020) dengan judul “The Perspective of Islamic Law on Cryptocurrency for Commodity Future Exchange in Indonesia” menyatakan bahwa transaksi jual beli virtual dengan Bitcoin di Indonesia telah memenuhi prinsip syariat Islam, karena syarat, ketentuan, dan mekanismenya tidak jauh berbeda dengan transaksi virtual menggunakan e-money pada umumnya. Namun, Bitcoin belum dapat dijadikan komoditas dalam Kontrak Derivatif Syariah karena masih mengandung unsur spekulasi (maysir), yang bersifat untung-untungan.[3] Adapun persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama membahas hukum penggunaan cryptocurrency dalam Islam. Sementara perbedaannya adalah penelitian tersebut lebih berfokus pada analisis cryptocurrency sebagai komoditas dalam perdagangan berjangka syariah di Indonesia, sedangkan penelitian ini akan lebih menitikberatkan pada kajian fikih perbandingan antara mazhab Syafi’i dan Hanafi dalam menilai status hukum penggunaan aplikasi cryptocurrency, baik sebagai alat tukar maupun instrumen investasi.
- Ausop dkk., (2018) yang berjudul “Teknologi Cryptocurrency Bitcoin untuk Investasi dan Transaksi Bisnis Menurut Syariat Islam” menyebutkan bahwa Bitcoin dengan teknologi Blockchain dianggap sebagai inovasi yang baik dalam bidang ekonomi. Namun, penggunaannya sebagai instrumen investasi masih mengandung unsur maysir (spekulasi), sementara sebagai alat transaksi bisnis terdapat unsur gharar (ketidakpastian). Oleh karena itu, dalam hukum Islam, transaksi menggunakan Cryptocurrency dikategorikan sebagai haram lighairih.[4] Adapun persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama membahas hukum penggunaan cryptocurrency dalam syari’at Islam, sementara perbedaannya adalah penelitian tersebut lebih menekankan pada analisis penggunaan Bitcoin dalam investasi dan transaksi bisnis secara umum menurut hukum Islam, tanpa fokus spesifik pada perbandingan mazhab. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan akan lebih terfokus pada analisis hukum penggunaan aplikasi cryptocurrency dari perspektif mazhab Syafi’i dan Hanafi, dengan meninjau bagaimana kedua mazhab tersebut menilai aspek transaksi dan kepastian nilai dalam penggunaan cryptocurrency.
- Farid (2018) yang berjudul “Perbedaan Pandangan Mazhab Syafi’i Dan Hanafi Dalam Pembiayaan Letter Of Credit Dengan Akad Kafalah Bi Al-Ujrah”. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa mazhab Syafi’i lebih ketat dalam menilai transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian, sementara mazhab Hanafi lebih fleksibel dalam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam konteks modern.[5] Adapun persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama membahas perbedaan pandangan imam safi’I dan hnaafi, sementara perbedaannya adalah penelitian tersebut lebih berfokus pada pembiayaan kredit dengan akad terntentu, Sementara penelitian ini fokus menganalisis secara spesifik bagaimana cryptocurrency dipandang dalam perspektif mazhab Syafi’i dan Hanafi.
Sehingga dari beberapa penelitian terdahulu tersebut dapat disimpulkan bahwa masih terdapat ruang untuk memperdalam kajian mengenai penggunaan cryptocurrency dalam perspektif mazhab Syafi’i dan Hanafi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengisi celah tersebut dengan memberikan analisis yang lebih spesifik mengenai pandangan kedua mazhab terhadap cryptocurrency.
[1] Isnal Khoeri Al Ummah and Ahdiana Yuni Lestari, “Cryptocurency Dalam Perspektif Hukum Islam” Ahmad Dahlan Legal Perspektive 3, no. 2 (2024): 95–107.
[2] Azizah, “Fenomena Cryptocurrency Dalam Perspektif Hukum Islam,” 13.
[3] Teddy Kusuma et al., “The Perspective of Islamic Law on Cryptocurrency for Commodity Future Exchange in Indonesia,” JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES AND CULTURE 8, no. 1 (2020): 2333–5912, accessed April 25, 2025, http://jiscnet.com/vol-8-no-1-june-2020-abstract-1-jisc.
[4] Kelompok Keahlian Ilmu Kemanusiaan, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Asep Zaenal Ausop, and Elsa Silvia Nur Aulia, “Teknologi Cryptocurrency Bitcoin Untuk Investasi Dan Transaksi Bisnis Menurut Syariat Islam,” Jurnal Sosioteknologi 17, no. 1 (April 30, 2018): 74–92.
[5] Farid Ardiansyah, “Perbedaan Pendapat Imam Syafi’i Dengan Hanafi Tentang Pembiayaan Letter Of Credit Dengan Akad Kafalah Bi Al-Ujrah,” Reposetory 7, no. 3 (2017).
Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode kualitatif dengan pendekatan studi kepustakaan (library research).[1] Pendekatan ini dipilih karena penelitian bertujuan untuk mengkaji pandangan mazhab Syafi’i dan Hanafi mengenai cryptocurrency berdasarkan sumber-sumber literatur yang tersedia. Dalam proses pengumpulan data, penelitian ini menerapkan teknik dokumentasi dengan menghimpun dan menganalisis berbagai literatur yang relevan mengenai hukum cryptocurrency dalam Islam. Sumber utama dalam penelitian ini adalah kitab-kitab fikih serta jurnal ilmiah yang mengkaji hukum Islam dan ekonomi syariah, sementara sumber sekunder berupa buku, artikel, dan publikasi lainnya yang mendukung analisis juga digunakan untuk memperkaya kajian.
Metode analisis data yang diterapkan adalah deskriptif-analitis, yakni dengan mendeskripsikan serta menganalisis pandangan mazhab Syafi’i dan Hanafi mengenai cryptocurrency, termasuk aspek-aspek utama dalam transaksi keuangan Islam seperti akad, gharar, dan riba.[2] Selain itu, penelitian ini juga menerapkan pendekatan komparatif untuk menyoroti perbedaan dan persamaan interpretasi kedua mazhab terhadap prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam konteks perkembangan teknologi keuangan modern.
[1] Fenti Hikmawati, Metodologi Penelitian (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2020), 52.
[2] Ibid.
Hasil dan Pembahasan
- Penggunaan Cryptocurrency
Beberapa individu memanfaatkan Cryptocurrency sebagai opsi alternatif untuk menggantikan transaksi tunai maupun digital saat dibutuhkan. Keunggulannya yang modern, cepat, dan praktis menjadi alasan utama penggunaannya. Cryptocurrency umumnya dimanfaatkan dalam tiga aspek utama: sebagai alat pembayaran, investasi jangka panjang, dan perdagangan (Bitcoin Trading).[1]
- Pembayaran dengan Cryptocurrency
Meskipun di Indonesia Bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, beberapa situs online mulai mempertimbangkan penggunaannya. Saat ini, beberapa perusahaan besar, seperti Amazon, PayPal, Namecheap, dan WordPress, telah mulai menerima Bitcoin sebagai metode pembayaran.
- Investasi menggunakan Cryptocurrency
Tujuan investasi adalah mendapatkan sejumlah pendapatan keuntungan. Cryptocurrency dengan nilai yang relatif besar dapat dimanfaatkan sebagai investasi jangka panjang. Setiap pemilik cryptocurrency memiliki private key yang berperan dalam mengakses aset digital mereka.
Cryptocurrency dengan nilai yang relatif tinggi dapat dimanfaatkan Sebagai aset untuk investasi dalam jangka panjang, setiap pengguna cryptocurrency memiliki private key yang berperan dalam mengakses dan mengelola aset digitalnya.

Gambar 4.1.1 peningkatan jumlah perdagangan Cryptocurrency
Berdasarkan gambar diatas, dapat dijelaskan bahwa ketika permintaan tinggi sementara ketersediaan Bitcoin rendah, harganya akan meningkat, dan sebaliknya. Kenaikan atau penurunan tajam harga Bitcoin terjadi karena nilainya tidak didasarkan pada aset nyata. Sebagai perbandingan, harga saham perusahaan naik karena peningkatan pendapatan atau penjualan. Sementara itu, harga Bitcoin dan cryptocurrency lainnya hanya bergantung pada kepercayaan pasar bahwa nilainya akan terus naik. Akibatnya, tidak ada dasar yang pasti untuk mengukur fluktuasi harga, sehingga aktivitas jual beli dalam trading cryptocurrency menjadi tidak stabil dan tidak jelas, baik dari segi objek maupun harga.
- Cryptocurrency dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam Ekonomi Islam, mata uang yang dianjurkan adalah dinar (emas) dan dirham (perak). Dinar emas memiliki kadar 22 karat (91,70%) dengan berat 4,25 gram, sementara dirham perak terbuat dari perak murni (99,95%) dengan berat 2,975 gram. Standar ini pertama kali ditetapkan oleh Rasulullah SAW pada tahun 1 Hijriyah dan kemudian ditegaskan kembali oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 18 Hijriyah.[2] Secara global, terdapat dua pandangan di kalangan fuqaha tentang hakikat uang. Kelompok pertama berpendapat bahwa uang hanya terdiri dari dinar (emas) dan dirham (perak), yang secara khusus ditetapkan sebagai alat tukar. Mereka meyakini bahwa emas dan perak diciptakan oleh Allah sebagai mata uang sebagai alat tukar dan standar nilai dalam perdagangan. Pandangan ini sejalan dengan Al-Ghazali, yang menyebut emas dan perak sebagai nikmat Allah yang memungkinkan terjadinya perdagangan. Sementara itu, kelompok kedua merujuk pada riwayat Umar Radiyallahu anhu dan berpendapat bahwa uang bersifat terminologis. Menurut mereka, segala sesuatu yang diakui dan digunakan oleh masyarakat sebagai media pertukaran dan standar nilai dapat dianggap sebagai uang.[3] Perdagangan Cryptocurrency menimbulkan beragam pandangan di kalangan ulama. Fluktuasi harga yang tinggi menjadi salah satu faktor yang memicu perbedaan pendapat tersebut.
Dalam Islam, suatu benda dapat dikategorikan sebagai harta jika memenuhi empat unsur utama, yaitu:
- Memiliki bentuk fisik yang dapat disentuh atau dipegang
- Dapat disimpan dalam jangka waktu lama tanpa mengalami perubahan
- Mendatangkan manfaat tanpa membawa kerugian
- Diakui sebagai harta oleh sebagian masyarakat, seperti emas, perak, kendaraan, saham, dan sebagainya.[4]
Kategori ini belum terdapat pada Cryptocurrency, meskipun nilai tukarnya bisa melebihi emas atau perak. Selain itu, transaksi uang elektronik harus bebas dari:[5]
- Riba, yaitu Penambahan dalam transaksi pertukaran barang ribawi (al-amwal al-ribawiyah) atau keuntungan atas pinjaman sebagai kompensasi atas penundaan pelunasan.
- Gharar, yakni ketidakpastian dalam akad terkait kualitas, kuantitas, atau waktu penyerahan objek akad.
- Maysir, yaitu transaksi yang bersifat spekulatif, tidak jelas tujuannya, dan mengandung unsur untung-untungan.
- Tadlis, yaitu tindakan penjual menyembunyikan cacat pada barang untuk menipu pembeli agar mengira barang tersebut dalam kondisi baik.
- Risywah, yaitu tindakan suap atau pembayaran yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya, melegitimasi kesalahan, serta mengubah kekeliruan agar tampak sebagai kebenaran.
- Israf, yakni pemborosan atau pengeluaran harta secara berlebihan.
Dalam pandangan Hukum Islam, cryptocurrency berpotensi mengandung unsur gharar dan maysir akibat cara penggunaannya yang cenderung spekulatif serta tidak memiliki bentuk fisik yang dapat diamati.
- Unsur Gharar
Dalam penggunaan Cryptocurrency, pengguna memanfaatkannya untuk trading atau mencari keuntungan melalui pertukaran mata uang secara spekulatif. Aktivitas spekulatif ini mirip dengan pengambilan risiko dalam investasi (risk-taking action) Yang biasanya dilakukan oleh pelaku usaha atau investor.[6] Menurut para ahli fikih, gharar adalah sifat dalam transaksi muamalah yang menyebabkan ketidakpastian pada sebagian unsur pentingnya (mastur al-aqibah). Secara praktik, ketidakpastian ini dapat terjadi dalam transaksi yang melibatkan kualitas, kuantitas, harga, atau waktu pengiriman barang, yang berisiko merugikan salah satu pihak. Gharar muncul ketika sesuatu yang seharusnya jelas malah menjadi tidak menentu. Dalam hukum Islam, gharar dilarang, sehingga setiap transaksi atau ketentuan dalam akad yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) tidak diperbolehkan.[7] Menurut Abdullah Muslih, transaksi gharar terbagi menjadi tiga jenis, salah satunya adalah jual beli barang yang tidak menentu (majhul). Bentuk ketidakjelasan dalam transaksi ini mencakup empat aspek, yaitu: [8]
- Kondisi objek akad dalam satu transaksi tidak dapat dipastikan sesuai dengan kesepakatan.
- Ketidakpastian mengenai sifat tertentu dari barang yang dijual.
- Menjual barang yang belum berada dalam penguasaan penjual.
- Ketidakjelasan waktu penyerahan barang dalam akad.
- Ketidakpastian mengenai objek akad.
- Unsur Maysir
Secara etimologi, maysir berarti kemudahan. Istilah ini merujuk pada suatu objek yang berfungsi sebagai sarana untuk mempermudah sesuatu. Disebut demikian karena seseorang yang seharusnya menempuh jalan yang sulit justru memilih cara instan demi mencapai keinginannya, meskipun cara tersebut bertentangan dengan nilai dan aturan syariah.[9] Allah SWT dalam firman Nya selalu menyebut Maysir bersamaan dengan Khamar. Hal ini menegaskan bahwa hukum Maysir setara dengan Khamar, yakni haram dan harus dihindari. Oleh karena itu, setiap bentuk permainan yang menyebabkan satu pihak memperoleh keuntungan sementara pihak lain mengalami kerugian termasuk dalam kategori judi yang dilarang. Contohnya termasuk lotere, adu nasib, atau bahkan undian dengan tujuan kebaikan misalnya; lotre harapan dan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB), terutama jika semata-mata bertujuan untuk memperoleh keuntungan semata.[10]
Oleh karena itu, Niat untuk memperoleh keuntungan melalui Fluktuasi harga Bitcoin dan Cryptocurrency lainnya yang sangat tidak stabil, serta adanya aktivitas spekulatif yang menyerupai perjudian, membuat Cryptocurrency mengandung unsur Gharar dan Maysir.
- Konsep Cryptocurrency dan Mekanismenya dalam Islam
Dalam fikih muamalah, transaksi keuangan harus memenuhi syarat yang ditetapkan dalam akad, termasuk syarat sahnya jual beli, kepastian nilai, dan tidak mengandung unsur gharar atau riba. Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa sebuah transaksi dalam Islam harus menggunakan barang yang memiliki nilai nyata (mutaqawwim). Barang yang dikategorikan sebagai mutaqawwim adalah sesuatu yang memiliki manfaat yang diakui oleh syariah dan dapat dimiliki secara sah. Barang tersebut tidak boleh bersifat fiktif, tidak berwujud, atau tidak memiliki manfaat yang jelas.[11] Oleh karena itu, dalam konteks ini, muncul perdebatan mengenai apakah cryptocurrency dapat dikategorikan sebagai barang mutaqawwim atau tidak.
Hakekatnya, cryptocurrency tidak memiliki bentuk fisik seperti emas atau perak yang secara historis telah diterima sebagai alat tukar dalam Islam. Mata uang konvensional seperti rupiah atau dolar juga merupakan uang yang diterima karena memiliki jaminan dari pemerintah dan stabilitas nilai yang lebih terukur. Sementara itu, cryptocurrency hanya eksis dalam bentuk digital dan nilainya bergantung pada mekanisme pasar yang sangat fluktuatif.
Ia juga menekankan bahwa barang yang boleh diperjualbelikan harus memiliki manfaat nyata dan bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam perdagangan Islam, barang yang tidak memiliki manfaat jelas, seperti sesuatu yang hanya berbasis spekulasi atau sulit diakses oleh masyarakat luas, tidak dianggap sebagai mutaqawwim.[12] Dalam konteks cryptocurrency, nilai suatu koin digital tidak selalu didasarkan pada aset nyata atau manfaat yang jelas, tetapi lebih kepada kepercayaan pasar terhadapnya. Selain itu, dalam transaksi jual beli, Islam menekankan adanya kepastian dalam akad, baik dari segi harga, jumlah, maupun manfaat barang yang diperjualbelikan. Cryptocurrency sering mengalami lonjakan atau penurunan nilai yang sangat drastis dalam waktu singkat, sehingga aspek kepastian dalam transaksi menjadi sulit terpenuhi. Jika cryptocurrency dikategorikan sebagai barang dagangan, maka ia harus memenuhi syarat seperti barang yang memiliki nilai stabil dan tidak terlalu spekulatif. Namun, jika dianggap sebagai mata uang, maka ia harus memiliki standar tsamaniyyah (fungsi sebagai alat tukar yang diterima luas), yang mana statusnya dalam Islam masih diperdebatkan.
Dengan demikian, berdasarkan prinsip yang dikemukakan oleh Imam An-Nawawi dalam kitabnya, suatu transaksi dalam Islam harus menggunakan barang yang memiliki nilai nyata (mutaqawwim), manfaat yang jelas, serta kepastian dalam akad. Cryptocurrency, sebagai aset digital yang tidak memiliki bentuk fisik dan nilainya bergantung pada mekanisme pasar yang fluktuatif, menimbulkan perdebatan dalam fikih Islam mengenai apakah ia memenuhi kriteria tersebut. Jika cryptocurrency tidak memiliki standar nilai yang stabil dan tidak diakui secara luas sebagai alat tukar yang sah dalam sistem ekonomi Islam, maka penggunaannya dalam transaksi dapat dikategorikan sebagai gharar yang dilarang dalam Islam. Namun, apabila dalam perkembangannya cryptocurrency dapat memenuhi unsur tsamaniyyah dan diakui manfaatnya secara luas, maka ada kemungkinan penggunaannya dapat diterima dalam sistem keuangan syariah dengan syarat tertentu.
- Landasan Hukum Cryptocurrency
4.4.1 Landasan Al Qur’an
Terdapat dua ayat yang menjadi dasar dalam membahas hukum penggunaan Bitcoin, baik sebagai instrumen investasi maupun transaksi bisnis, yaitu :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ٢٩
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama dengan cara yang batil, kecuali melalui perdagangan yang dilakukan atas dasar suka sama suka di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri sendiri. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’ : 29)
Ayat ini menegaskan larangan terhadap praktik transaksi yang mengandung unsur kebatilan (batil), yang dalam konteks muamalah dapat mencakup riba, gharar (ketidakjelasan), dan tadlis (penipuan). Para mufasir memiliki beberapa pandangan mengenai makna batil dalam ayat ini. Imam Al-Qurtubi menafsirkan ayat ini dengan menekankan pentingnya transaksi yang dilakukan secara suka rela tanpa unsur paksaan atau eksploitasi. Ia juga menyebut bahwa transaksi yang mengandung unsur spekulasi tinggi (gharar) termasuk dalam kategori batil, sehingga perjudian atau transaksi tanpa kepastian harus dihindari.[13]
Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azim menjelaskan bahwa batil dalam ayat ini merujuk kepada tindakan mengambil harta orang lain secara zalim, baik melalui cara terang-terangan seperti mencuri dan menipu, maupun cara yang lebih halus seperti transaksi yang mengandung riba atau spekulasi berlebihan.[14] Imam At-Tabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an menjelaskan bahwa batil dalam ayat ini mencakup semua bentuk transaksi yang tidak sah menurut syariat, seperti riba, penipuan, dan perampasan harta orang lain secara zalim. Perniagaan yang sah harus memenuhi prinsip keadilan dan kesepakatan kedua belah pihak (antaradhin).[15]
Sehingga berdasarkan pendapat para mufassir, ayat ini menegaskan prinsip utama dalam transaksi ekonomi Islam, yaitu larangan memperoleh harta dengan cara yang batil serta pentingnya unsur antaradhin atau kesepakatan yang jujur antara kedua belah pihak. Berdasarkan tafsir para ulama, batil dalam konteks ini mencakup segala bentuk transaksi yang merugikan atau tidak sah menurut syariat, seperti riba, penipuan, eksploitasi, dan transaksi yang mengandung gharar (ketidakjelasan). Oleh karena itu, transaksi keuangan, termasuk penggunaan cryptocurrency, harus memenuhi prinsip keadilan dan kejelasan dalam akad agar tidak termasuk dalam kategori batil. Jika suatu transaksi tidak memiliki dasar kejelasan aset, cenderung manipulatif, atau merugikan salah satu pihak, maka hal tersebut bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam yang ditegaskan dalam ayat ini. Adapun ayat lain yang juga menyebutkan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ٩٠
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, maysir (judi), pengorbanan untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kalian beruntung” (QS. Al Maidah : 90).
Ayat ini secara eksplisit melarang perjudian (maysir), yang sering dikaitkan dengan praktik transaksi yang mengandung unsur spekulasi dan ketidakpastian yang tinggi. Sebagaimana surat annisa ayat 29, dalam ayat ini, para mufasir menafsirkan ayat ini dengan pendekatan yang lebih luas dalam konteks ekonomi dan transaksi keuangan. Imam At-Tabari menafsirkan maysir sebagai segala bentuk permainan atau transaksi yang mengandalkan keberuntungan dan spekulasi tanpa usaha nyata. Dalam konteks ekonomi modern, ini bisa mencakup bentuk-bentuk perdagangan yang berisiko tinggi seperti spekulasi pasar saham atau cryptocurrency yang tidak memiliki underlying asset yang jelas.[16]
Al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menyatakan bahwa maysir tidak hanya terbatas pada perjudian konvensional, tetapi juga mencakup transaksi yang memiliki unsur ketidakpastian ekstrem, seperti skema investasi tanpa dasar yang jelas. Jika suatu transaksi bergantung pada keuntungan spekulatif tanpa nilai riil, maka transaksi tersebut masuk dalam kategori maysir yang diharamkan.[17] Ibnu Katsir menjelaskan bahwa larangan terhadap maysir dalam ayat ini bukan hanya karena ketidakpastian, tetapi juga karena dampak sosialnya yang merusak. Ia menyoroti bagaimana perjudian menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi kekayaan, di mana sebagian pihak mendapatkan keuntungan besar sementara yang lain mengalami kerugian besar.[18]
Sehingga ayat ini menggarisbawahi larangan terhadap perjudian (maysir) serta praktik keuangan yang berbasis spekulasi dan ketidakpastian tinggi. Mereka (para mufasir) menegaskan bahwa maysir bukan hanya terbatas pada perjudian konvensional, tetapi juga mencakup bentuk transaksi yang bergantung pada keberuntungan tanpa usaha nyata dan memiliki risiko yang merugikan salah satu pihak secara tidak adil. Dalam konteks cryptocurrency, jika penggunaannya lebih banyak bersifat spekulatif tanpa adanya aset nyata yang mendukung, maka dapat dikategorikan sebagai maysir yang dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, setiap bentuk investasi atau perdagangan yang mengandung unsur spekulasi berlebihan harus dihindari agar tidak melanggar prinsip syariah yang ditekankan dalam ayat ini.
Dengan demikian, dari kedua ayat ini, dua kata kuncinya adalah batil dan maysir. Istilah akad batil merujuk pada perjanjian yang tidak sah atau cacat, baik karena sifat dasarnya maupun faktor eksternal seperti riba atau korupsi, pengkhianatan, dan perjudian. Selain itu, konsep antaradhin atau kesepakatan bersama juga harus diperhatikan, karena kerelaan dalam transaksi bersifat batiniah dan tersembunyi. Oleh karena itu, untuk memastikan adanya kerelaan, diperlukan ijab kabul dalam setiap transaksi bisnis.
4.4.2 Landasan Hadist
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli al-hashat, yaitu transaksi dengan cara melempar batu untuk menentukan pilihan, serta jual beli al-gharar, yang mengandung unsur ketidakjelasan (HR. Muslim, Shahih Muslim, Juz 4, Hadis No. 1513).
Hadis lain dari Ibn Mas’ud menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jangan membeli ikan yang masih di dalam air karena mengandung ketidakpastian.”
Dalam perkembangannya, Bitcoin menghadapi berbagai polemik di tingkat global, termasuk di Indonesia, di mana eksistensinya belum diakui secara resmi dan belum memiliki regulasi yang jelas. Dalam Islam, perdebatan di kalangan ulama mengenai status hukum Bitcoin masih berlangsung, dengan pandangan yang beragam berdasarkan Al-Qur’an, hadis, ijma’, serta sumber hukum Islam lainnya.
- Pandangan Madzhab Syafi’I mengenai Cryptocurrency
Menurut ulama Syafi’i, Ibnu Urfah, gharar adalah sesuatu yang tampak menarik dari luar, tetapi hakikatnya tidak jelas. Dalam konteks jual beli, sebagaimana disebutkan dalam al-Musyafit, bay’ al-gharar adalah transaksi yang mengandung risiko bagi kedua belah pihak, baik penjual maupun pembeli. Risiko ini muncul akibat ketidakjelasan harga, jenis barang, kondisi barang, serta waktu diperbolehkannya transaksi. Jual beli semacam ini dilarang dalam Islam, sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA.
عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِنَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashah dan jual beli yangmengandung unsur gharar”.
Dalam trading cryptocurrency, transaksi dilakukan dengan jual beli barang sejenis, namun harga dapat berubah dengan cepat dan objek barang tidak tampak secara fisik. Ketidakstabilan dan ketidakpastian harga cryptocurrency berpotensi mengandung unsur spekulasi, maisir, dan gharar. Para ulama memiliki pandangan berbeda terkait penetapan harga dalam suatu akad. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketidakjelasan harga tergolong sebagai gharar berlebihan, yang dapat membatalkan keabsahan akad jual beli.
Dalam pandangan mazhab Syafi’i, transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi, dikenal sebagai gharar, dianggap tidak sah dan dilarang dalam Islam. Gharar mengacu pada ketidakpastian dalam objek transaksi, seperti harga, jenis, kondisi barang, atau waktu penyerahan, yang dapat menimbulkan risiko bagi kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang diatas, yang dalam konteks cryptocurrency, seperti Bitcoin, ketidakstabilan harga dan ketiadaan bentuk fisik menimbulkan ketidakpastian yang signifikan.[19]
Oleh karena itu, menurut mazhab Syafi’i, transaksi menggunakan cryptocurrency dapat dianggap sesuatu yang didalamnya ada unsur gharar yang berlebihan, sehingga tidak sah menurut hukum Islam.
- Pandangan Madzhab Hanafi mengenai Cryptocurrency
Menurut mazhab Hanafi, prinsip utama dalam transaksi keuangan adalah adanya kejelasan, keadilan, dan keterhindaran dari unsur gharar (ketidakpastian) dan riba (bunga atau keuntungan yang tidak sah). Mazhab ini menekankan bahwa setiap transaksi harus memiliki kejelasan terkait objek yang diperjualbelikan, mekanisme transaksi, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam pandangan Imam Abu Hanifah dan ulama Hanafiyah lainnya, suatu transaksi dianggap sah jika memenuhi tiga unsur utama: adanya ijab dan qabul yang jelas, objek yang memiliki eksistensi nyata, dan transaksi yang bebas dari unsur spekulasi berlebihan. Imam as-Sarakhsi dalam Al-Mabsuth menjelaskan bahwa gharar terjadi jika suatu transaksi melibatkan ketidakpastian mengenai kepemilikan, nilai, atau proses penyerahan barang. Oleh karena itu, transaksi yang tidak memberikan kepastian mengenai eksistensi atau kepemilikan aset pada saat akad dianggap tidak sah dalam mazhab Hanafi.
Dalam hal cryptocurrency, beberapa aspek yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian dengan prinsip syariah. Pertama, volatilitas harga yang ekstrem menyebabkan perubahan nilai yang sulit diprediksi, sehingga transaksi berbasis spekulasi tinggi dapat dianggap sebagai bentuk maysir (perjudian). Kedua, tidak adanya dukungan dari aset fisik atau otoritas resmi dalam banyak mata uang kripto menimbulkan risiko terhadap stabilitas dan kejelasan nilai. Hal ini diperkuat oleh pandangan ulama Hanafiyah yang menganggap bahwa mata uang harus memiliki nilai intrinsik yang jelas dan dapat digunakan sebagai alat tukar yang sah di masyarakat.
Namun, beberapa ulama Hanafi modern berpendapat bahwa jika cryptocurrency digunakan sebagai alat tukar yang stabil, didukung oleh jaminan aset nyata, atau memiliki regulasi yang jelas, maka penggunaannya bisa diperbolehkan dalam batasan tertentu. Dengan kata lain, jika aspek gharar dapat diminimalkan dan transaksi dilakukan dengan mekanisme yang transparan serta adil, maka penggunaannya dapat diterima. Oleh karena itu, pemanfaatan cryptocurrency menurut mazhab Hanafi sangat bergantung pada kondisi aktualnya, apakah lebih mendekati unsur spekulatif yang dilarang atau dapat memenuhi prinsip kejelasan dan keadilan dalam muamalah Islam.[20]
- Analisis Komparatif Pandangan Madzhab Syafi’I dan Hanafi mengenai Cryptocurrency
Untuk memahami perspektif mazhab Syafi’i dan Hanafi mengenai cryptocurrency, diperlukan pemahaman tentang prinsip-prinsip ekonomi Islam dan hukum muamalah. Beberapa konsep dasar yang relevan dalam penelitian ini meliputi:
- Prinsip Muamalah dalam Islam
Dalam Islam, transaksi keuangan harus memenuhi prinsip-prinsip tertentu seperti keadilan (al-‘adl), kesepakatan sukarela (taradhi), dan tidak mengandung unsur riba, gharar, atau maysir. Dalam konteks cryptocurrency, prinsip-prinsip ini menjadi dasar dalam menentukan apakah mata uang digital dapat diterima dalam sistem ekonomi Islam.
- Gharar dan Ketidakpastian
Gharar merujuk pada ketidakpastian dalam transaksi yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu pihak. Mazhab Syafi’i sangat ketat dalam menghindari gharar, sedangkan mazhab Hanafi memiliki pendekatan yang lebih fleksibel dalam beberapa kondisi. Volatilitas tinggi dalam harga cryptocurrency dapat menjadi faktor yang mempengaruhi hukum penggunaannya dalam perspektif kedua mazhab ini.
- Mata Uang dalam Islam
Dalam Islam, mata uang harus memiliki nilai yang stabil dan diterima oleh masyarakat. Pandangan mazhab Syafi’i dan Hanafi mengenai mata uang dapat menjadi dasar dalam menentukan apakah cryptocurrency memenuhi kriteria sebagai alat tukar yang sah dalam Islam.
- Fatwa Ulama Mengenai Cryptocurrency
Beberapa fatwa ulama modern telah mengeluarkan pandangan yang beragam mengenai cryptocurrency. Beberapa lembaga fatwa menyatakan bahwa cryptocurrency tidak dapat digunakan karena tidak memiliki underlying asset yang jelas, sementara yang lain menganggapnya halal jika digunakan dengan cara yang sesuai dengan prinsip syariah.
Kedua mazhab sepakat bahwa transaksi yang mengandung gharar, terutama yang berkaitan dengan ketidakpastian nilai dan penyerahan barang, tidak diperbolehkan dalam Islam. Oleh karena itu, penggunaan cryptocurrency dalam transaksi keuangan dianggap tidak sah menurut hukum Islam, karena mengandung unsur gharar yang signifikan.
[1] Dony Ariyus, Kriptografi: Keamanan Data Dan Komunikasi (Yogyakarta: Yogyakarta, 2006), 11.
[2] Takiddin, “Uang Dalam Perspektif Ekonomi Islam,” SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 1, no. 2 (December 1, 2014): 20, accessed April 26, 2025, http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/1539.
[3] Sandra Wijaya, “Transaksi Jual Beli Bitcoindalam Perspektif Hukum Islam”, Skripsi, : 24-26.
[4] Muhammad Fuad Zain, “Mining-Trading Cryptocurrency dalam Hukum Islam,” Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 12, no. 1 (June 22, 2018): 119–132.
[5] Ibid, 129.
[6] Nurul Huda Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah, n.d, 78-79.
[7] Diwarman A. Karim Oni Sahroni, Riba, Gharar, Dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah Analisis Fikih Dan Ekonomi, n.d, 77-78.
[8] Nadratuzzaman Hosen, Bentuk Gharar Dalam Transaksi Ekonomi (Jakarta, 2009), 57.
[9] Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah, 26.
[10] H.E Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), 261-262.
[11] al-Nawawi Yahya ibn Sharaf, Al-Majmu’ Sharh al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), Jilid 4, 250.
[12] Ibid, 253.
[13] Al Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkam (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2006), 27.
[14] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-Azim, n.d.
[15] At-Tabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Quran, Juz 6, (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 45.
[16] At-Tabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Quran…, 164.
[17] Al Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, t.t.
[18] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-Azim, Jilid 5, 134.
[19] Muhammad Fauzi et al., “Mata Uang Digital (Cryptocurrency): Apakah Statusnya Memenuhi Kriteria Harta (Maal) dan Mata Uang Dalam Islam?,” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah : AICONOMIA 1, no. 2 (December 30, 2022): 72–87.
[20] Abdurrahman Wahid, “Riba dan Gharar dalam Bitcoin pendekatan Qaidah Fiqh,” Rayah Al-Islam 7, no. 1 (April 28, 2023): 358–384.
Kesimpulan
Manusia memanfaatkan Cryptocurrency sebagai alternatif pengganti uang tunai maupun non-tunai saat dibutuhkan. Keunggulannya yang modern, cepat, dan praktis menjadi alasan utama penggunaannya. Cryptocurrency umumnya dimanfaatkan dalam tiga aspek utama: Sebagai alat pembayaran, investasi jangka panjang, dan aktivitas perdagangan (Bitcoin Trading), Cryptocurrency dalam perspektif Hukum Islam dapat mengandung unsur gharar dan maysir karena penggunaannya sering kali bersifat spekulatif dan tidak memiliki bentuk fisik yang jelas. Terdapat dua ayat yang menjadi dasar dalam menentukan hukum penggunaan Bitcoin, baik sebagai instrumen investasi maupun dalam transaksi bisnis; yaitu Surah an-Nisa [4] ayat 29 dan Surah al-Maidah [5] ayat 90.
Dalam pandangan mazhab Syafi’i, transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi, dikenal sebagai gharar, dianggap tidak sah dan dilarang dalam Islam. Gharar mengacu pada ketidakpastian dalam objek transaksi, seperti barang yang tidak jelas keberadaannya atau sifatnya, harga, jenis, atau waktu penyerahan, yang dapat menimbulkan risiko bagi kedua belah pihak. Sementara itu, mazhab Hanafi juga menekankan pentingnya kejelasan dalam transaksi untuk menghindari gharar. Gharar, menurut ulama Hanafi seperti Imam as-Sarakhsi, adalah sesuatu yang akibatnya tersembunyi atau tidak pasti. Transaksi yang mengandung ketidakpastian mengenai eksistensi atau penyerahan barang dianggap tidak sah. Kedua mazhab sepakat bahwa transaksi yang mengandung gharar, terutama yang berkaitan dengan ketidakpastian nilai dan penyerahan barang, tidak diperbolehkan dalam Islam.
Daftar Pustaka
Al Qurtubi. Al-Jami’ Li Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 2006.
Al Ummah, Isnal Khoeri, and Ahdiana Yuni Lestari. “Cryptocurency Dalam Perspektif Hukum Islam” 3, no. 2 (2023).
Ardiansyah, Farid. “Perbedaan Pendapat Imam Syafi’i Dengan Hanafi Tentang Pembiayaan Letter Of Credit Dengan Akad Kafalah Bi Al-Ujrah,” no. 3 (2017).
Ariyus, Dony. Kriptografi: Keamanan Data Dan Komunikasi. Yogyakarta: Yogyakarta, 2006.
At-Tabari. Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Quran. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000.
Azizah, Andi Siti Nur. “FENOMENA CRYPTOCURRENCY DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM” 1, no. 1 (2020).
Fauzi, Muhammad, Kusnadi Kusnadi, Musdizal Musdizal, and Rafzan Rafzan. “Mata Uang Digital (Cryptocurrency): Apakah Statusnya Memenuhi Kriteria Harta (Maal) dan Mata Uang Dalam Islam?” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah : AICONOMIA 1, no. 2 (December 30, 2022): 72–87.
Hamin, Dewi Indrayani. “CRYPTO CURRENSI DAN PANDANGAN LEGALITAS MENURUT ISLAM: SEBUAH LITERATURE REVIEW.” . September 3, no. 2 (2020).
Harahap, Nasruddin Khalil, Ahmad Wardana, and Abdul Aziz Harahap. “PENGGUNAAN CRYPTOCURRENCY MENURUT PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI SYARIAH” 10, no. 1 (2024).
Hikmawati, Fenti. Metodologi Penelitian. Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2020.
Hosen, Nadratuzzaman. Bentuk Gharar Dalam Transaksi Ekonomi. Jakarta, 2009.
Islam, Hukum. “Bitcoin Sale and Purchase Transactions in Islamic Law Perspective” (n.d.).
Katsir, Ibnu. Tafsir Al-Quran al-Azim, n.d.
Kelompok Keahlian Ilmu Kemanusiaan, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, Asep Zaenal Ausop, and Elsa Silvia Nur Aulia. “TEKNOLOGI CRYPTOCURRENCY BITCOIN UNTUK INVESTASI DAN TRANSAKSI BISNIS MENURUT SYARIAT ISLAM.” Jurnal Sosioteknologi 17, no. 1 (April 30, 2018): 74–92.
Kusuma, Teddy, Veithzal Rivai Zainal, Iwan Kurniawan Subagja, and Salim Basalamah. “The Perspective of Islamic Law on Cryptocurrency for Commodity Future Exchange in Indonesia.” JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES AND CULTURE 8, no. 1 (2020). Accessed April 25, 2025. http://jiscnet.com/vol-8-no-1-june-2020-abstract-1-jisc.
Mustafa Edwin Nasution, Nurul Huda. Investasi Pada Pasar Modal Syariah, n.d.
Nurullia, Syafira. “Menggagas Pengaturan dan Penerapan Central Bank Digital Currency di Indonesia: Bingkai Ius Constituendum.” Journal of Judicial Review 23, no. 2 (December 23, 2021): 275.
Oni Sahroni, Diwarman A. Karim. Riba, Gharar, Dan Kaidah-Kaidah Ekonomi Syariah Analisis Fikih Dan Ekonomi, n.d.
Syarjaya, H.E Syibli. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008.
Takiddin, Takiddin. “UANG DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM.” SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 1, no. 2 (December 1, 2014). Accessed April 26, 2025. http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/1539.
Wahid, Abdurrahman. “Riba dan Gharar dalam Bitcoin pendekatan Qaidah Fiqh.” Rayah Al-Islam 7, no. 1 (April 28, 2023): 358–384.
Wicaksono, Oktobriari Sunu, and Siti Mahmudah. “Analisis Hukum Cryptocurrency Sebagai Alat Pembayaran di Indonesia: Perspektif Yuridis” 4, no. 2 (2023).
Yahya ibn Sharaf, al-Nawawi. Al-Majmu’ Sharh al-Muhadzdzab. 4th ed. Beirut: Dar al-Fikr, 2005.
Zain, Muhammad Fuad. “Mining-Trading Cryptocurrency dalam Hukum Islam.” Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 12, no. 1 (June 22, 2018): 119–132.