Dulu, aku pikir masuk perguruan tinggi hanyalah soal mendaftar,menunggu pengumuman lalu setelah itu kuliah seperti mahasiswa pada umumnya. Tapi ternyata, dibalik itu semua ada begitu banyak rasa takut, ragu, dan perjuangan yang harus kulewati sebelum akhirnya bisa duduk di bangku kuliah seperti saat ini. Mengenakan almamater UINSA, dan menyebut diriku sebagai mahasiswa.Ini bukan sekadar cerita tentang lulus seleksi saja, tapi tentang tekad untuk terus melangkah, bahkan ketika semuanya terasa gelap dan aku hampir menyerah dengan impianku untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tidak pernah terpikir sebelumnya, masuk UINSA akan menjadi salah satu hal yang cukup berat dan sangat berarti dalam hidupku. Bagaimana tidak? Mengingat aku berasal dari keluarga yang sederhana-cukup, tidak dibilang kaya, tapi juga tidak benar-benar kekurangan. Orang tuaku masih mampu menyekolahkan anak anaknya sampai lulus. Namun,ketika berbicara tentang kuliah, pikiranku mulai goyah. Tentang pandangan orang-orang yang katanya biaya kuliah itu mahal,belum lagi biaya pendaftaran,uang semesteran, uang kost-jika jauh dari rumah, serta juga biaya hidup untuk sehari-harinya. Semua itu terdengar begitu besar bagiku.
Waktu kecil, pernah aku berkata kepada bapak bahwa aku ingin menjadi anak yang mapan setelah aku besar nanti. Aku mau kuliah. Kuliah di tempat yang jauh dari rumah. Aku ingin mengangkat derajat keluarga. Aku ingin menjadi anak sukses, yang bisa membuat bapak dan ibu bangga. Lalu bapak menjawab “ Iya amin… . Do’akan semoga nanti bapak punya biaya buat kamu ngelanjutin pendidikan sampai ke perguruan tinggi,dan semoga semua harapan dan cita-cita kamu tercapai” begitu kata bapak. Namun, impian itu mulai pudar seiring berjalannya waktu. Bukan karena tidak memiliki keinginan untuk kuliah lagi, melainkan karena aku menyadari kondisi keluargaku yang sederhana. Di tengah kebimbangan itu, justru muncul berbagai dorongan dari orang-orang di sekitar. Salah satunya datang dari guruku yang dengan tulus menawarkan bantuan agar aku bisa kuliah. Tapi bayangan soal biaya terus saja menghantuiku, membuatku kembali ragu. Selama ini aku merasa sudah cukup membebankan orang tua. Walau demikian, aku tetap mencoba untuk membicarakan tawaran guruku kepada orang tuaku. Alhamdulillah, orang tuaku setuju dan mendukungku untuk tetap melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Setelah mendapatkan persetujuan orang tua, aku mulai mengikuti beberapa tes seleksi. Daftar SNBP dan juga UMPTKIN. Namun, hasil dari kedua tes tersebut menyatakan aku tidak lolos seleksi. Rasa kecewa sudah tentu ada. Di saat semangatku mulai bangkit, di tambah lagi dukungan orang tua yang semakin membuatku yakin, justru aku tidak lolos. Dari situ aku berpikir “apa mungkin aku ini memang tidak di takdirkan untuk kuliah?”
Tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk kuliah di UINSA. Dalam tes seleksi yang aku ikuti sebelumnya, aku memilih kampus lain di mana banyak diantara temanku yang juga daftar di sana. Setelah pengumuman kedua tes yang aku ikuti menyatakan aku tidak lolos,hampir saja aku menyerah. “Mungkin aku memang tidak di takdirkan untuk kuliah” Itulah yang ada di pikiranku saat itu. Dari situ aku sudah mulai membiasakan diri dengan pikiran: “Mungkin aku cukup sampai di sini saja”. Namun, ada rasa ragu dari kata-kata itu, di satu sisi aku masih ingin melanjutkan perjalanan ini, tapi di sisi lain, aku merasa perjuangan ini sudah cukup sampai di sini saja. Di saat semangatku sudah mulai memudar, ibu tetep menyemangatiku, ibu berkata “Sabar, mungkin ini bukan rezeki kamu, kenapa ga ikut tes lagi saja? Pilihlah kampus yang lain. Ingatkah kamu waktu masih kecil dulu pernah berkata kepada ibu kalau kamu ingin kuliah ke barat? (Salah satunya adalah Surabaya. Aku berasal dari Probolinggo, jadi kata “barat” yang aku maksud adalah kalau tidak Surabaya ya Malang). Mungkin saja ucapan kamu pas lagi kecil itu menjadi do’a dan bisa jadi ini adalah jawaban dari perkataan kamu waktu masih kecil”.
Ya. Aku masih ingat betul tentang ucapanku dulu. Mungkin perkataan ibu ada benarnya. Tapi aku tetap kepikiran tentang biaya,aku sampaikan semua itu kepada ibu yang ibu balas dengan ucapan “Tidak apa-apa,kamu lanjutkan dulu usahamu, kejar impianmu. Masalah biaya sudah Allah yang ngatur. Setiap anak memang sudah punya rezekinya masing-masing, apalagi ini untuk pendidikan. Insyaallah akan Allah permudahkan. Kamu bisa! Ayoo semangat!” Semangatku kembali menyala. Aku daftar tes UTBK. Sesuai dengan perkataan ibu, aku memilih kampus lain-tidak memilih kampus yang aku pilih di tes SNBP dan UMPTKIN sebelumnya. Dalam 4 pilihan prodi, aku memilih 2 prodi yang semuanya dari UINSA. Dan 2 pilihan prodi lainnya aku kosongi karena aku tidak tahu lagi mau memilih apa. Aku belajar sebisaku dan berdo’a setiap malam. Aku tahu persaingannya berat. Aku bukan dari sekolah ternama, aku juga tidak les di tempat mahal, aku hanya belajar sendiri,sebisaku. Tapi aku punya harapan, dan mungkin itu cukup. Di saat hari pengumuman hasil UTBK, aku sudah sangat pasrah, jika aku tidak lolos lagi, aku sudah memutuskan untuk tidak kuliah. Jantungku berdetar, jariku juga sempat ragu untuk menekan tombol “lihat hasil.” Dan ketika aku tekan tombol itu……layar memunculkan latar berwarna biru dengan tulisan selamat berwarna hijau yang menyatakan aku lolos. Sejenak aku tidak percaya. Aku lolos……Mataku berkaca-kaca. Aku akan menjadi mahasiswa. Aku diterima di UINSA.
Saat ini, aku resmi menjadi mahasiswa UINSA. Mengenakan almamater kebanggaan berwarna hijau tua ini. Perjalanan ke sini bukan hal yang mudah. Tapi langkah kecil yang kuambil, ternyata cukup untuk membawaku ke tempat yang selama ini hanya bisa kupandangi dari jauh.Dari awal aku ragu, takut, bahkan hampir menyerah karena keterbatasan yang ada. Tapi perlahan, aku belajar untuk mencoba. Di balik keberanianku,ada peran besar dari orang tuaku. Mereka selalu mendukungku dengan doa dan semangat yang tidak pernah habis. Tanpa mereka,mungkin tidak akan punya kekuatan untuk melangkah sampai sejauh ini. Aku memang belum sepenuhnya sukses. Tapi bisa berdiri di titik ini, dari yang awalnya aku hampir menyerah sampai akhirnya aku bisa kuliah, itu sudah jadi kemenangan tersendiri bagiku.