Oleh : Farhan Azmy Rahmadsyah dan Indah Nuraini
Indonesia adalah negara hukum, sesuai yang tertuang dalam konstitusi UUD NRI 1945 Pasal 1 Ayat (3). Maka dari itu idealnya setiap tindakan yang dilakukan harus berdasarkan hukum, termasuk dalam upaya menjaga keanekaragaman hayati di Indonesia. Prof. Dr. Otto Soemarwoto mendefinisikan keanekaragaman hayati sebagai keseluruhan aspek variasi kehidupan di bumi, yakni meliputi keragaman genetik, species, dan ekosistem. Dengan kata lain, keanekaragaman hayati merujuk pada variasi kehidupan di bumi yang meliputi semua tingkat variasi kehidupan. Di samping itu Indonesia juga menduduki beberapa tempat teratas mengenai keragaman hayati. Diantaranya: Pertama, berdasarkan species mamalia, Indonesia menempati posisi pertama di dunia (515 jenis). Kedua, berdasarkan species kupu-kupu swallowtail, Indonesia menempati posisi pertama di dunia (121 jenis). Ketiga, berdasarkan species reptil, Indonesia menempati posisi ketiga di dunia (600 jenis). Keempat, berdasarkan species burung, Indonesia menempati posisi keempat di dunia (1519 jenis). Kelima, berdasarkan species amfibi, Indonesia menempati posisi kelima di dunia (270 jenis). Keberadaan hukum adat sendiri merupakan psyche dari suatu bangsa, khususnya bagi bangsa Indonesia. Menurut Surojo Wignjodipuro, masyarakat hukum adat sebelum kemerdekaan Indonesia telah hidup subur berdampingan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Bahkan setelah kemerdekaan pada tahun 1945 hukum yang berlaku dimasyarakat tersebut masih tetap eksis hingga saat ini.
Dalam pengaplikasian hukum yang baik, setidaknya ada tiga hal fundamental yang harus terintegrasi, yakni aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Pertama, Dalam aspek filosofis disebutkan oleh Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat selagi masih pada garis lurus hukum nasional. Dalam hal ini negara juga hadir sebagai duty holder terhadap hak masyarakat adat. Kedua, dalam aspek yuridis disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP baru). Di dalamnya diatur mengenai hukum yang hidup dimasyarakat (living law). Ketiga, dalam aspek sosiologis telah disebutkan dalam sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Hal ini berarti secara eksplisit mengisyaratkan kepada seluruh manusia untuk saling menghargai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini niscaya dilakukan mengingat skema demografi masyarakat Indonesia bersifat segmented society. Setidaknya, timbul dua rumusan masalah dalam pembahasan kali ini. Diantaranya: Pertama, bagaimana kedudukan hukum adat dalam rangka perlindungan terhadap keanekaragaman hayati. Kedua, bagaimana strategi ideal dalam revitalisasi hukum adat ke dalam hukum pidana Indonesia. Maka dari itu penting dalam merawat keanekaragaman hayati, terkhusus hukum adat di Indonesia. Keanekaragaman hayati dan hukum adat di Indonesia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus senantiasa dijaga dari ancaman, pencemaran, kerusakan, dan kehancuran. Penerapan hukum adat dalam pelaksanaan hukum pidana di Indonesia memiliki peran penting untuk menjaga lingkungan dan keberlanjutan kekayaan alam suatu bangsa baik dari segi filosofis, yuridis, dan sosiologis.
A. Kedudukan Hukum Adat dalam Rangka Perlindungan terhadap Keanekaragaman Hayati
Eksistensi hukum adat di Indonesia sebenarnya memiliki landasan yang kuat dalam Peraturan Perundang-undangan nasional. Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Pengakuan ini menegaskan bahwa hukum adat bukan sekadar norma sosial, melainkan bagian integral dari sistem hukum Indonesia, khususnya dalam aspek-aspek tertentu seperti perkawinan, waris, dan agraria. Dalam konteks hukum agraria, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) juga mendasarkan sistem agraria nasional pada asas hukum adat. Pasal 5 UUPA secara eksplisit menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat, selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan prinsip-prinsip persatuan bangsa. Kemudian dalam Pasal 1 Ayat (30) juga dijelaskan bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Dengan demikian, sebenarnya keberadaan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia tidak hanya diakui secara formal tetapi juga dijadikan salah satu pilar dalam pembentukan identitas hukum nasional.
Pengaruh hukum adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati dapat terlihat jelas di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya, Peraturan Daerah Lebak Nomor 32/2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy di Banten mencerminkan bagaimana hukum adat dapat diintegrasikan dengan regulasi modern untuk melindungi keanekaragaman hayati. Dengan memberikan pengakuan hukum terhadap hak ulayat masyarakat Baduy, dapat memperkuat kontrol lokal terhadap penggunaan dan pelestarian lingkungan, memfasilitasi praktik konservasi yang telah lama ada dalam tradisi mereka. Kemudian di Kalimantan Tengah, rencana penyusunan peraturan daerah tentang kawasan hutan adat menunjukkan komitmen pemerintah daerah dalam melindungi keanekaragaman hayati melalui pengakuan hukum adat. Hukum adat yang mengatur pengelolaan hutan dan sumber daya alam secara tradisional melarang praktik-praktik eksploitasi yang merusak lingkungan. Integrasi prinsip-prinsip hukum adat dengan kerangka hukum nasional diharapkan dapat memperkuat upaya pelestarian keanekaragaman hayati, memberikan perlindungan hukum yang lebih solid terhadap praktik pengelolaan berkelanjutan yang berdasarkan kearifan lokal. Secara keseluruhan, pengakuan dan penerapan hukum adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati membuktikan bahwa hukum adat memainkan peran vital dalam melestarikan ekosistem lokal dan mendukung keberagaman biologis. Meskipun hukum adat menghadapi tantangan dari proses modernisasi dan globalisasi, dukungan terhadap implementasi dan integrasi hukum adat dalam kerangka hukum formal dapat memastikan bahwa nilai-nilai lokal tetap relevan dan efektif dalam menghadapi perubahan zaman.
B. Strategi Ideal dalam Revitalisasi Hukum Adat ke dalam Hukum Pidana Indonesia
Penegakan hukum lingkungan hidup khususnya pertanggungjawaban korporasi terhadap keanekaragaman hayati belum berorientasi pada fase idealnya. Dari delapan perkara, hanya satu perkara saja yang dijatuhkan sanksi pidana tambahan berupa perbaikan/pemulihan kepada terpidana. Terlebih lagi, konstruksi sanksi pidana tersebut dari sudut pandang tujuan pemidanaan modern bukanlah suatu formulasi yang ideal. Hal ini tentunya diperlukan upaya yang bersifat terintegrasi untuk dapat menyelesaikan problematika tersebut. Upaya yang bersifat terintegrasi tersebut dapat dilakukan melalui dua strategi.
Pertama, implementasi UUD 1945 khususnya terhadap Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 dalam upaya menegakkan green victimolgy dalam masyarakat. Dengan strategi mendorong pembuatan sanksi yang tergas berupa pemenuhan ganti rugi dalam hak pemulihan terhadap kerusakan yang dialami lingkungan masyarakat adat. Seyogianya sanksi tersebut dapat dibuat dalam sebuah Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah atau pun hukum yang bersifat formil lainnya di seluruh Indonesia. Agar dapat meminimalisir kerusakan dan kesewenangwenangan terhadap lingkungan masyarakat adat dan dapat menjadi solusi preventif untuk menakut-nakuti masyarakat yang ingin merusak lingkungan masyarakat adat.
Kedua, merancang dan memberlakukan Undang-Undang Khusus mengenai hukum adat. Hal ini tentunya membuat langkah yang lebih konkret terhadap revitalisasi hukum adat ke dalam hukum pidana Indonesia yang kemudian memberikan kesempatan kepada hukum adat di Indonesia lebih melestarikan hukumnya sendiri demi menjaga keanekaragaman hayati. Kedua strategi di atas dinilai bersifat taktis dan strategis dalam upaya revitalisasi hukum adat ke dalam hukum pidana Indonesia dan juga strategi di atas diharapkan mampu menyelesaikan problematika hukum adat terutama dalam menjaga keanekaragaman hayati di Indonesia.
Daftar Pustaka
Adi Surya, Faizal. “Legal Pluralism In The Pancasila Perspective Challenges In The Era Of Globalization.” Indonesian Journal of Legality of Law 6, no. 1 (2023): 207–12. https://doi.org/10.35965/ijlf.v6i1.3931.
Junaidi, Rahmat, “Perlindungan Hukum Terhadap Kawasan Hutan Adat di Kalimantan Tengah (Kesiapan Kabupaten/Kota dalam Menyusun Peraturan Daerah Tentang Kawasan Hutan Adat).” 04-07-2018, 2018.
Farina, Thea, Satriya Nugraha, Agus Mulyawan, dan Andika Wijaya. “Pengakuan dan Perlindungan Hutan Adat dalam Mewujudkan Hak Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Tengah.” UNES Law Review 6 (2024): 9377– 89. https://reviewunes.com/https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/.
Ladjin, Litriani, Sahamony, Kusumaningrum, Maulina, Siregar, Hubbansyah, Solikin, Silitonga, Soeyatno, Asyari, Sinaga, Amalia. Dasar-Dasar Konservasi, 2022.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (2002). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pub. L. No. 1, 1 (2023).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (2009).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pub. L. No. 5, 1 (1960).
Yuliyani, Allya Putri. “Peran Hukum Adat dan Perlindungan Hukum Adat di Indonesia.” Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains 2 (2023): 860–65. https://doi.org/10.58812/jhhws.v2i09.648