Tina Ayu Rahma – Dengan Tekad Ku Mewujudkan Niat

Masa-masa kelas XII MA adalah masa-masa yang paling bahagia dan penuh misterius juga ambisius. Di satu sisi, bahagia, karena akan lulus seperti yang saya tunggu-tunggu. Namun, disisi lain juga tersimpan banyak misterius akan ambisinya saya didalam tekad untuk kuliah. Ketika yang lain sibuk mencari perguruan tinggi yang tepat sesuai karirnya, saya bingung biaya yag akan saya habiskan nanti. Karena pada dasarnya, harus saya akui bahwa saya terlahir dari golongan orang yang kurang mampu. Bahkan sejak kecil , saya termasuk anak yang beruntung dalam mendapatkan bantuan dari pemerintah. 

Seperti yang telah kita ketahui bersama, banyak orang berpandangan bahwa kuliah itu mahal, apalagi negeri yang mereka bilang, lumayan sulit untuk memasukinya. Sejujurya, saya tidak bingung untuk memasuki PTN atau PTKIN di Indonesia. Karena, sekolah saya dulu sudah berakreditasi A, dan tidak ada kuota Eligible.  Sehingga semua anak yang memiliki kemauan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi aka dibantu oleh guru BK. Bahkan termasuk sekolah terbesar se-kabupaten Bojonegoro. Walaupun swasta tetapi siapa orang yang tak mengenalnya. 

Sembari menunggu hari kelulusan tiba, saya berpikir untuk tidak sekolah lagi, karena pada waktu itu menurut saya “sekarang adalah saatnya untuk membantu orang tuaku dan membalas budi kepada mereka”.  Walaupun hakekatnya, memang balasan kita pasti tidak sebanding dengan apa yang telah dikorbankan oleh mereka.  Akan tetapi, pikiran saya seraya tiba-tiba berubah, yang awalnya “saya ingin bekerja, menjadi saya harus mencari ilmu dan pengalaman yang lebih banyak lagi agar dapat menitih karir yang sesuai dengan jati diri saya yang sebenarnya” kata hati kecil saya. Dan berawal dari sinilah, saya mulai bingung akan keputusan yang saya ambil. Ketika hati mulai berkecamuk seperti kicauan burung di pagi hari dalam membangunkan seseorang yang terlelap dari tidurnya, saya hanya ikhtiar dan pasrah kepada Allah akan takdir yang terbaik untuk saya. Saya percaya kepada-Nya bahwa rencana Allah adalah yang paling indah. 

Awalnya, saya tidak ingin memberi kabar kepada orang tua saya di rumah, karena saya memiliki pemikiran untuk lanjut sekolah ke perguruan tinggi dengan niat memberi surprise kepada mereka. Karena itu adalah awal dari kesuksesan saya. Tetapi, disisi lain saya takut jikalau nanti mereka harus merasa terbebani akan biaya kuliah yang katanya mahal. Namun, walaupun begitu saya  tetap sowan kepada bu Nyai saya, sebagai orang tua saya ketika belajar di pondok. Al hasil, beliau juga merasa bimbang akan kasih saran yang akan diberikan. Malah justru beliau berpesan “Umpomo sdo kuliah, kuliah o nak kne ae, diniati ngntekno ilmu ne Mbah Sholeh, ga usah adoh-adoh, nondi-nondi sg penteng ridhone wong tuwo iku nomer siji”, seketika itu hati saya merasa tergoncang sekali. Saya terus meratapi dan berfikir tiada henti. Akhirnya, saya mengambil keputusan untuk terus terang kepada orang tua. Setelah kedua orang tuaku mengetahui semuanya, antara bapak dan ibu saya terdapat perselisihan. Bapak tidak mendukung saya, karena beliau merasa sudah tua dan terbebani karena masih ada adek saya dan kakak saya juga masih semester akhir untuk menunggu wisuda pada waktu itu. Sedangkan ibu mendukung saya, karena saya ada tekad sendiri. Dari dulu, ibu selalu memegang prinsip hidupnya, jika apa yang diinginkan anaknya itu harus bisa dikejar sekalipun itu harus membutuhkan biaya yang tinggi. Keputusan yang berbeda diantara mereka itu menjadikan saya semakin bimbang. Dan lagi-lagi saya tidak lupa untuk percaya dan pasrahkan semuanya kepada Allah SWT. 

Seiring berjalannya waktu, tiada hentinya saya terus berikhtiar dan berdo’a kepadaNya, agar segera mendapatkan petunjuk-Nya. Saya juga meminta bu nyai, seorang guru, dan teman-teman saya untuk mengistikhorohi pilihan saya. Al hasil, dari bu nyai mendapatkan suatu pencerahan. Yang artinya itu pertanda bahwa pilihan saya untuk kuliah itu lebih baik. Akan tetapi, beliau meminta saya untuk tetap kuliah tapi di perguruan tinggi pondok saya dulu kala. Karena saya adalah orang yang mudah bosan dengan dunianya apalagi setelah mondok disanaa selama 6 tahun, tentu ingin pergi ke dunia luar dan menikmati suasana yang baru. Namun, untuk menjaga hati bu nyai, saya hanya memberikan senyuman dan meng iya kan apa yang beliau minta (harap maklum yaa, emang santri agak nakal dulunya hehe). Begitupun hasil dari seorang guru saya, yang hampir sama dengan bu nyai saya. Hanya saja, karena dulu beliau juga kuliah di salah satu PTKIN di tanah air, maka beliau memberi saran kepada saya untuk mencobanya terlebih dahulu, baru jika nanti tidak lolos harus pindah ke pondok duluku lagi. Seperti yang saya lakukan kepada bu nyai, untuk menjaga hati beliau  saya hanya memberikan senyuman dan meng iya kan apa yang beliau minta. Sedangkan hasil dari teman-teman berbeda, ketika itu ada 3 sahabat yang saya minta untuk membantu saya, dua diantaranya mendapatkan petunjuk yang kurang baik, dan yang satu alhamdulillah ada pencerahan. Seketika itu saya merasa sangat bahagia, karena Allah lebih memberi petunjuk yang baik daripada yang buruk kepadaku.

Tanpa berpikir Panjang, saya segera memberi kabar kepada orang tua dirumah. Ternyata, mereka menyerahkan semua keputusan di tanganku sendiri. Mereka pasti akan mendukugnya. Namun, seketika itu saya juga merasa tidak tega jika harus menjadi beban mereka walaupun dalam mulutnya berkata tidak, tetapi sebagai seorang anak masih bisa merasakan desahan hati orang tua kita. Orang tua pasti akan selalu terseyum untuk menutupi kegelisahan yang mereka hadapi. Akhirnya, saya memutuskan untuk mempunyai prinsip harus mencoba. Setidaknya, jikala nanti tidak ditakdirka untuk lanjut ke perguruan tinggi, saya tetap bisa membantu orang yang membutuhkan nanti sesuai pengalaman yang pernah saya rasakan. 

Sambil berjalan menunggu pengumuman Spanptkin, saya mencari-cari informasi beasiswa di Uinsa dari kating-kating yang saya kenal. Kemudian, saya langsung menyiapkan berkas-berkas untuk pengajuan agar tidak gugup setelah waktu datang. Entah kenapa, saya merasa positif thinking dan terus tirakat agar lolos di Uinsa. Al hasil, takdir berkehendak lain. Seketika itu, saya sedih karena apa yang saya harapkan tidak sesuai ekspetasi. Ketika saya memberanikan diri untuk memberi kabar kepada orang tua saya, di sana terlihat pada raut wajah mereka seperti banyak bunga yang bertebaran layaknya mendapat suatu kebahagiaan. Yaa kebahagiaan bagi mereka karena saya belum lolos dan kesedihan bagi saya karena melihat  wajah mereka yang begitu berbunga-bunga. Namun, saya tidak berhenti disitu, saya terus bertekad diri untuk masuk dan bisa sekolah tinggi dengan untuk megangkat derajat orang tua saya yang dikala itu dipandang kurang mampu dalam memfasilitasi anaknya, karena sudah terlilit hutang yang cukup lumayan menurut masyarakat sekitar. Kemudian, saya memutuskan untuk mengambil jalur tes (Umptkin) dengan jurusan Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) dan Pendidikan Agama Islam (PAI) di Uinsa. Pada waktu itu, jalur ini dikenai biaya pendaftaran Rp200.000,00/orang. Saya membayar dengan uang tabungan sendiri dengan tujuan yang sama, agar semua menjadi rahasia kejutan untuk orang tua saya bahwa saya benar-benar tidak ingin menjadi beban mereka untuk kedepannya nanti. 

Waktu pengumuman kelolosan  yang dinanti-nanti peserta Umptkin seluruh tanah air Indonesia telah tiba. Mereka yang bernasib sama seperti saya, mereka sedang kebingungan menyiapkan berkas-berkas beasiswa bahkan ada yang baru mulai mencari informasi dikala itu. Tapi hal itu tidak terjadi pada diri saya sendiri.  saya sudah tidak mempersiapkan berkas-berkas lagi. Kaarena saya sudah mencicil nya jauh-jauh hari sebagai bukti keseriusan saya untuk memperjuangkan niat saya dalam sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.  Saya hanya menunggu dan terus berikhtiar serta tirakat dengan lebih sungguh-sungguh. Ketika sudah mulai dibuka pendaftaran, disitu kita hanya diberi waktu selama kurang lebih satu minggu untuk mengumpulkan berkasnya ke kampus Uinsa. Seketika itu, virus covid-19 masih melanda negara ini, khususnya Surabaya yang terkenal penduduk terpadat setelah Jakarta dan yang selalu menjadi rating tinggi dalam kasus peningkatan covid-19. Jadi, berkas-berkas dikumpulkan melalui jasa kirim, seperti jnt, jne, jawa pos, dan lain sebagainya. Sejujurnya, saya merasa gelisah, karena takutnya paket tidak sampai sesuai yang kita harapkan. Karena pada dasarnya, setiap manusia pasti tidsk ingin perjuangan yang ia lakukan sia-sia begitu saja. Akhirnya, saya dan teman-teman se-MA dulu bertekad utuk mengantarkan berkasnya sendiri sambil niat untuk melihat suasana kampus yang akan kita tempati nanti. Namun, ditengah perjalanan kita bimbang “Mengapa harus megambil yang susah jika ada yang mudah? Bukankah begitu? “ dalam benak pikiran saya. Dimana sekarang adalah zaman modern yang banyak orang melakukan sesuatu serba instan dan mudah. Kita tidak perlu jauh-jauh pergi ke negeri orang untuk mengantarkan sesuatu yang berharga misalnya. Kita cukup mencari kantor pos terdekat dan hanya membayar ongkos kirim sebagai ganti bensinnya tanpa harus membuang tenaga. Mengingat rumah kami berjarak cukup lumayan antara satu dengan yang lain. Akhirnya, kita mengumpulkan berkas-berkasnya dari kantor pos terdekat dari rumah masing-masing. Alhamdulillah setelah pengumuman lolos tahap 1 keluar, saya termasuk salah satu orang yang berhak menerimanya. Tetapi, masih terdapat rintangan yang harus saya hadapi untuk mengambil beasiswa tersebut. Yaitu wawancara apa yang akan saya pertanggungjawabkan jikalau lolos nanti.

Pada hari Selasa tepatnya, karena itu merupakan hari paling bersejarah bagi saya, sehingga selalu saya ingat. Pada saat itu, saya mendapatkan jadwal wawancara pagi. Saya meminta izin, untuk tidak mengiikuti satu mata kuliah demi mewujudkan niat. Saya sangat senang dengan pihak kemahasiswaan kampus Uinsa. Yang katanya rata-rata orangnya ramah, baik hati, dan full senyum. Seketika itu, sejujurnya saya merasa malu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada saya tentang ekonomi keluarga saya. Apalagi saat disuruh menunjukkan rumah seisinya. Dan karena rumah saya berada di dekat hutan kabupaten Bojonegoro, itu merupakan cobaan dan tantangan tersendiri yang harus saya hadapi. Sampai-sampai saya merasa bersalah kepada pewawancara dikarenakan saya telah keluar masuk zoom, sehingga menjadikan saya merasa khawatir jika itu akan menjadi salah satu hambatan jikalau tidak lolos nantinya. Saking takutnya saya seolah-olah tubuh bergejolak seperti api, air mata bercucuran didepan layer zoom. Sampai-sampai ibu yang mewawancarai saya merasa terharu bahagia (jika saya menafsirkannya). Saya sangat tersipu malu setelah berakhirya wawancara itu. Waktu silih berganti, dari pagi menjadi siang. Akhirnya, Ibu meminta saya untuk membuat satu kalimat yang bisa ibu jadikan pegangan untuk meloloskan saya. Seketika itu saya membuat kalimat “saya adalah anak dari keluarga yang kurang mampu tetapi saya mempunyai semangat yang tinggi dalam belajar ke jenjang yang lebih tinggi sampai  nanti”. Dan beliau juga memberi pertanyaan tetang apa yang akan saya berikan ketika saya diterima nanti. “Saya akan memberikan prestasi yang saya dapat untuk uinsa sesuai kemmapuan yang saya miliki” ujar saya. 

Perjuangan yang keras dan tantangan serta halangan yang harus saya hadapi sedikit demi sedikit terlewati. Dari awal pendaftaran, saya berprinsip untuk percaya dan pasrah kepada Allah dan harus mendapatkan beasiswa utuk belajar ke jenjang yag lebih tinggi. Dan harus selalu ada usaha dan ikhtiar yang kita lakukan. Sangat bersyukurnya saya, karena takdir berkehendak satu dengan tekad dan niat saya. Sehingga tidak sia-sia tirakat yang saya lakukan selama ini.  Memang terkadang aada kalanya kita harus menurut kepada orang tua kita, dan ada kalanya kita harus membantah untuk kebaikan diri kita yang nantinya juga kembali kepada mereka juga  Asalkan, kita tetap menjaga dalam setiap ucapan dalam membantah mereka agar tidak menyakiti hati mereka dan menjadi manfaat serta berkah pada akhirnya. 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *