Saya merupakan anak dari pedagang toko klontong di sebuah kampung pinggiran kota Surabaya. Dimana Ibu dan Bapak saya ingin sekali melanjutkan pendidikan saya. Saya tau betul kondisi waktu itu, dimana toko sepi, ada masalah dengan sanak saudara, dan ada beberapa masalah yang tidak akan saya ceritakan disini. Namun, Ibu selalu berdoa agar anaknya dapat melanjutkan sekolahnya, UIN khususnya.
Waktu itu tahun 2020, saya menjadi salah satu siswa eligible untuk daftar SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) 2020. Namun ketika pengumuman, “Maaf ya Bu, ternyata Farah ga lolos,” Ucapku sambil menahan tangisan. “Ngga papa, nduk. Kan belum rezeki. Udah sekarang lebih banyak berdoa lagi.” Ibu berkata seperti itu membuat saya langsung lari ke kamar. Ga kuat sedari tadi menahan tangis. Namun dilain sisi masih ada jalur lain, SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguran Tinggi Negeri) 2020. Dimana biaya untuk mendaftar sebesar Rp.200.000,00 untuk kelompok soshum/saintek. Saat itu saya bingung, bagaimana caranya saya mendapatkan uang tersebut, dikala kondisi perekonomian orang tua saya mengalami penyusutan akibat pandemi.
Ketika saya ke toko untuk gantian menjaga, Ibu bilang, “Ini uang buat biaya daftar tes, semoga buat kali ini bisa lolos,” Ibu percayakan saya lagi. Namun saya takut akan kegagalan berulang kali, takut buat kecewa lagi. Sahabat saya bilang, “Farah ikut SBMPTN ya, nanti kalau gagal lagi kan masih ada jalur yang lain. Ingat kata pepatah, banyak jalan menuju Roma. Semangat belajar dan berdoa.” Dari kata-kata tersebut saya memberanikan diri untuk daftar, buku yang telah lama saya tidak baca, saya ulas kembali dengan banyak tulisan-tulisan harapan.
Beberapa sebelum tes, diinformasikan bahwa seluruh peserta yang mengikuti SBMPTN 2020 wajib melakukan antigen atau PCR agar terhindar dari covid-19. Dan tes tersebut membutuhkan biaya yang tidak murah, kurang lebih Rp.200.000,00. Uang lagi, mau menyerah namun Ibu kembali bilang, “Ini buat antigen, nanti sore diantar sama Bapak buat antigen ke Dukuh Kupang.” Banyak pengeluaran yang Ibu sama Bapak keluarkan demi anaknya bisa masuk Perguruan Tinggi, dan saya berjanji bahwa saya akan lolos. Beberapa hari telah berlalu, sekarang adalah saatnya untuk berjuang tes UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer). Saat itu, saya mendapatkan tempat tes di Universitas Airlangga, diantar dengan sepeda motor sama Bapak dan ditunggu hingga tes usai.
Setelah tes UTBK 2020 tepatnya sekitar satu bulan, pengumuman SBMPTN 2020 akan diumumkan besok. Saya takut, jika saya harus gagal lagi. Terlalu banyak perjuangan orang tua saya demi saya mendapatkan sekolah kualitas yang bagus di masa ekonomi keluarga yang sulit. Hari ini pengumuman, dan sebelum klik tombol hasil, saya banyak-banyak berdoa agar diloloskan. Dan hasilnya “DINYATAKAN TIDAK DITERIMA PADA SBMPTN 2020”, di semangati dua kali oleh lembaga membuat saya sedikit muak. Saat itu yang saya lakukan adalah mengurung diri, bagaimana saya tidak seberuntung orang-orang diluar sana, mengapa harus saya, dan masih banyak lagi cacian untuk diri saya sendiri. Setelah beberapa jam menenangkan diri, saya melihat-lihat biaya masuk jalur Mandiri serta uang pangkalnya. Dan setelah itu saya bilang kepada Ibu saya, “Ibu, saya ikut tes lagi aja ya tahun depan. Sambil berbenah diri, sambil menyiapkan diri yang lebih matang, dan sambil menabung.”
Satu tahun telah berlalu, saya sudah belajar, berdoa, dan menabung agar biaya tes tahun ini dapat saya lakukan sendiri. Daftar SBMPTN 2021 dan UMPTKIN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi agama Islam Negeri) 2021 sekaligus agar tidak menyesal. Antigen lagi seharga yang sama dengan tahun lalu namun hasilnya tidak sesuai ekspektasi, tetap gagal. Saya menyerah, lalu Ibu bilang, “Kalau swasta Islam mahal ya?” saya jawab, “Iya, bu. Negeri jalur Mandiri aja mahal bu, apalagi swasta,” lalu Ibu berkata, “Kalau di IAIN(Intitut Agama Islam Negeri)?.” Ibu saya mengenal IAIN daripada UIN(Universitas Islam Negeri). Saya jawab, “Saya cek dulu Bu untuk biaya dan lain-lainnya.” Sedikit informasi, SNMPTN 2020 dan dua kali SBMPTN saya tidak memilih UIN karna saya anggap saya mampu di umum, mungkin dari sinilah Allah tidak merestui saya, terlalu sombong.
Setelah cek semua jurusan dan biaya-biayanya, saya berunding dengan orang tua dan Ibu menyetujuinya. Adapun beberapa jurusan-jurusan yang ingin saya tuju yaitu pilihan pertama adalah jurusan Ekonomi Syariah, pilihan kedua adalah Sejarah Peradaban Islam, dan pilihan terakhir adalah Ilmu Ekonomi di UIN Sunan Ampel. Namun Ibu berkata, “Yang ini aja ya(menunjuk Sejarah Peradaban Islam), murah biayanya. Ibu sepertinya tidak mampu untuk jurusan ini(menunjuk ke jurusan Ekonomi Syariah).” Saya mengatakan, “Tidak tau mana yang bakal jadi rezeki buat Farah, Bu.” Setelahnya biaya pendaftaran dan lain-lain langsung saya bayarkan besok dengan hasil tabungan saya kemarin, alhamdullilah.
Setelah beberapa hari saya daftar jalur Mandiri UIN Sunan Ampel, Ibu sakit. Sehari kemudian dibawa dibawa ke rumah sakit namun dimana-mana rumah sakitnnya full, karena bertepatan dengan meningkatnya kasus covid-19. Dan alhamdullilah nya di RSAL Dr. Ramelan mau menerima Ibu buat masuk ke IGD. Sehari setelahnya tepat di hari minggu, Ibu dikatakan oleh pihak rumah sakit bahwa Ibu positif covid-19. Dan besoknya, Senin tanggal 28 Juni 2021, saya dapat kabar bahwa Ibu saya telah meninggal dunia akibat diabetes dan positif covid-19. Runtuh sudah pertahanan saya, tidak ada lagi seorang yang membela saya, tidak ada lagi masakan rumah yang enak, dan masih banyak hal yang selalu saya tangisi hingga sekarang.
Beberapa hari setelahnya, pengumuman jalur Mandiri UIN Sunan Ampel keluar. Disini saya terkejut karena saya lolos dan masuk di Sejarah Peradaban Islam. Bapak bilang, “Ibu selalu ada disekitarmu, jadi mungkin kelolosan ini salah satu doa Ibu yang lalu sekaligus hiburan untuk kamu dari Allah.” Disitu saya langsung pergi, dan menangis lalu mengingat kata-kata Ibu dimasa lalu. Kembali ke masa SMA, dulu Ibu saya bilang ke wali kelas, “Saya itu Ustadzah ingin Farah masuk ke IAIN saja. Tapi kok Farahnya ngga mau, minta nya di umum.” Dari sini saya pikir, andai dulu sedikit tidak egois dan memilih untuk daftar juga ke UIN pasti tidak semenyesal ini. Mungkin ini juga Allah ingin melihatkan kekuasaannya kepada saya yang sudah tertulis dalam al-Qur’an di surat al-Insyirah ayat 5-6, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” Namun kondisi ekonomi keluarga masih belum stabil, tabungan saya belum memenuhi untuk membayar uang tunggal kuliah, hingga perhiasan emas saya jual dan disetujui oleh Bapak, alhamdullilah harganya masih ada kembalian untuk membeli laptop.
Hari-hari telah berlalu, hari pertama masuk kuliah rasanya masih tidak menyangka bahwa saya merupakan mahasiswa. Tepat pada tanggal 11 September 2021, media sosial UIN Sunan Ampel memposting pendaftran Beasiswa KIP-Kuliah 2021. Disitu saya tertarik namun masih takut kegagalan, lalu kata teman kuliah saya, “Ayo daftar bareng-bareng siapa tau bisa lulus.” Disitu saya pelan-pelan untuk meyakinkan diri saya, “Coba dulu Farah, siapa tau keterima.” Hingga tetangga saya datang ke toko, “Mbak, dikampus mu pasti ada pendaftran KIP kan? Kamu ikut aja daftar. Bantu-bantu buat Bapak siapa tau keterima, kan lumayan. Apalagi sekarang ibu udah ngga ada.” Dari sinilah saya yakin saya pasti lolos. Meskipun sedikit mepet untuk daftar beasiswa tersebut, saya ditemani tetangga saya untuk mengurus persyaratannya. Meskipun saya daftar ketika hari terakhir membuat website yang dimuat sedang down, saya masih diberi kesempatan untuk daftar.
Lolos tahap pertama, membuat saya lebih yakin lagi bahwa saya juga bisa lolos tahap selanjutnya. Tahap kali ini adalah wawancara, bagi saya semua baru pertama kali. Hingga H-1 saya mencoba peruntungan dengan cara mencari pertanyaan-pertanyaan wawancara yang dimuat untuk Beasiswa KIP-K. Dan dengan izin Allah, mulai dari pertanyaan hingga survei rumah semua masuk dalam wawancara tersebut. Tidak ada yang meleset satu pun yang telah saya pelajari via Youtube. Saya lupa dengan Ibu siapa saat itu yang mewawancarai saya, saya ingin berterimakasih banyak sudah menyapa Bapak saya yang saat itu terharu.
Tetiba 15 Oktober 2021, hari pengumuman siapa saja yang mendapatkan Beasiswa KIP-K 2021. Jam 20.55, teman saya spam chat ke WhatsApp, “Alhamdullilah. Kita keterima. Ayo berjuang dan mempertahankan IPK(Indeks Prestasi Kumulatif) biar bagus. Bismillah.” Dan ketika lihat pengumumannya, saya teriak. Saya mengatakan kepada Bapak saya, “Bapak, Farah keterima Beasiswa KIP-K.” Bapak cuman bisa tersenyum sambil mengatakan, “Alhamdullilah.” Double happiness for me. Terbayar sudah lelah saya ke SMA untuk meminta tanda tangan dan surat rekomendasi secara dadakan, terbayar sudah tangisan kesedihan saya, dan terbayar sudah beban saya agar tidak membayar kuliah.
Setelah 100 hari kepergian Ibu dan 6 hari setelah ulang tahun saya, tepat pada tanggal 1 November 2021, Bapak meninggal. Lelaki pertama yang saya cintai menyusul Ibu saya. Mungkin rindu yang tak tertahan kepada sang kekasih hingga mampu meninggalkan sendiri seorang anak perempuannya. Saya sudah tidak sanggup lagi menjalani hari. Saya mau berhenti kuliah, saya mau ikut sama Ibu-Bapak. Saya mau kembali bertiga sama-sama. Saya bingung, bener-bener bingung. Kesalahan apa yang saya perbuat hingga seperti ini.
Memperjuangkan dan mendapatkan beasiswa ini, mungkin adalah hadiah dari Allah supaya saya tidak sedih lagi ketika kedua orang tua saya telah berpulang ke rumahNya. Saya percaya setelah adanya musibah pasti akan datang bahagia namun dengan syarat sabar, jika bahagia di dunia tidak ditemukan maka surga adalah jawaban. Saya juga percaya terhadap firman Allah di dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 286, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakan dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakan.”
Meskipun hidup saya sekarang belum bisa dikatakan stabil. Tapi alhamdullilah saya masih disini, menghirup nafas dengan lega. Saya masih mau membuktikan kepada dunia bahwa saya pasti mampu, terkhusus kepada sahabat, kerabat, dan saudara yang mau saya bahagiakan. Dan lagi saya percaya dengan kalimat, “Mengubah pagi menjadi malam saja Allah mampu, apalagi hanya merubah nasibmu.”