Namaku Irkhas Tri Rahmatussolihah, biasa dipanggil Irkhas tapi banyak juga yang panggil Rahma. It’s oke selagi itu memang namaku hehe. Konon katanya, ada filosofi tersendiri di balik nama ini. Ya meskipun sampai sekarang aku masih belum tahu artinya huhu. Aku lahir dari keluarga sederhana, bisa dibilang ukurannya menengah kebawah. Karena kondisi keluargaku memang benar-benar kurang mampu. Bukan dibuat-buat, itu memang kenyataan, iyaaa kenyataan, Awalnya aku nggak pernah percaya ketika orang tuaku menceritakan masa di mana mereka benar-benar dalam kondisi ekonomi terburuk.
Mulai dari hutang kesana-kemari, listrik numpang tetangga, mandi di kamar mandi seadanya, buang hajat harus ke sungaikarena ditolak setiap izin numpang tetangga, rumah reyot peyote, bahkan mereka menyebut rumahku dulu layaknya kandang ayam. Namun, bukan kandang ayam jaman now, yang dihias warna-warni dengan pernak-pernik lucu yang harganya ratusan bahkan jutaan rupiah, tetapi hanya berdinding bambu-bambu sisa yang dijadikan satu dan dipertahankan hingga bertahun-tahun lamanya.
Orang tuaku pantang menyerah, tak pernah merasa kecil dengan orang disekitarnya, dan tak pernah sedikit pun mengeluh mengenai keadaannya karena mereka percaya semuanya atas kuasa sang pencipta Allah SWT. Kisah-kisah inspiratifnya sering banget didendangkan sebelum menidurkan anak-anaknya, bukan hanya sekedar bercerita masa kelamnya. Mereka bermaksud memberikan materi, ilmu pengetahuan, serta pelajaran berharga yang mungkin belum tentu didapatkan anak-anaknya selama mengenyam bangku sekolah. Kisah-kisah keluargaku seperti adegan film nyata, ya kan memang nyata hehe. Namun, kisah yang dilantunkan oleh orang tuaku setiap malam memang sungguh syahdu.
Alurnya bergejolak, menarik, dan bikin ketagihan, dan bisa jadi coco untuk difilmkan, tapi sayang belum ada PH (Production House) yang tertarik, hehe. Aku terlahir dari mereka (orang tuaku) yang super duper luar biasa. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mereka mampu menghadirkan kekurangannya menjadi keistimewaan yang belum pernah aku temui sebelumnya. Mereka Bapak Supriyo dan Ibu Tutik Sunarsih.
Ayahku seorang pemijat tunanetra, aku lebih suka panggil Bapak. Kondisi Bapakku berbeda, beliau harus menggandeng tanganku setiap kali aku mengajaknya keluar, seperti hanya sekedar melihat acara festival di desa pada malam hari. Kondisi gelap membuat Bapak tidak bisa melihat dengan jelas. Istimewanya, meskipun kondsi matanya yang rabun, beliau nggak pernah menolak saat kuajak menikmati festival malam.
Mataku seakan kena cabe, tiba-tiba perih dan kayak ada yang mau tumpah. Sering kali, aku hampir nangis di jalan karena nggak bisa bebas mondar-mandir, karena memang aku harus ada di sebelah Bapak. Syukur-syukur bisa keluar meski cuma lihat-lihat, maklum harga barang-barang di sana mahal-mahal. Paling tidak aku bisa beli kacang rebus atau jagung bakar yang harganya nggak menguras kantong kita hehe.
Bapak selalu menguatkan keluarganya, tapi aku yakin beliau juga berusaha menguatkan dirinya sendiri di tengah keterbatasannya. Aku belum tahu pasti penyebab mata Bapak yang tidak bisa melihat. Bapak cuma bilang itu masalah syaraf, tapi bukanya itu bisa dioperasi? Pasti masalah uang, operasi kan nggak murah. Butuh biaya yang nggak sedikit. Dalam kondisi yang seperti ini, beliau tetap tegar dengan adanya bidadari cantik yang senantiasa teguh disebelahnya, yaitu Ibu.
Ibuku seorang ibu rumah tangga, beliau nggak bekerja karena tuna aksara. Keterbatasan lagi-lagi menghantui keluargaku. Kondisi ekonomi keluarga memaksanya untuk putus sekolah saat masih SD dan memilih tugas mulia membantu keluarga. Kisahnya hampir mirip dengan Bapak, hanya saja Bapak beruntung bisa mengenyam pendidikan hingga lulus SD. Saat sebelum menikah dengan Bapak, Ibu memilih untuk merantau ke luar kota untuk bekerja, meski hanya menjadi penjaga toko gerabah (perlengkapan rumah tangga) di daerah Surabaya. Namun, setelah menikah dengan Bapak, Ibu memutuskan untuk tidak bekerja. Ibu mencoba berdagang kecil-kecilan. Sebagian besar kebutuhan keluarga kami hanya bapak seorang yang mikul. Mulai dari jualan garam, gorengan, gerabah, minyak tanah, bahkan ngamen pun pernah beliau lakukan.
Sampai pada akhirnya, matanya benar-benar tidak bisa berfungsi sama sekali, beliau frustasi, bingung, acap kali takut di tinggal keluarga. Rasa kekeluargaan begitu hangat meyelimuti keluargaku, saat kondisi sedang terpuruk di situlah momen berharga untuk saling menguatkan hingga akhirnya Bapak memutuskan untuk menjadi pemijat dengan cap tunanetra yang dilayangkan oleh masyarakat. Sedih betul dengan sebutan itu, sampai sekarang masih berharap agar kelak aku bisa merubah keadaan itu.
Sekarang aku dewasa, saat menginjak bangku SMA, ambisiku untuk masuk sekolah favorit masih terus menggelora. Orang tuaku harap-harap cemas, mereka khawatir dengan biaya masuk yang mahal. Orang tuaku beranggapan bahwa SMA-ku hanya bisa dijangkau kalangan menengah ke atas. Tapi, aku selalu berharap kali ini keberuntungan memihakku.
Saat pengumuman kelulusan tiba, akhirnya aku lega karena diterima di SMA yang aku impikan serta bisa membayar biaya masuknya. Selama duduk di bangku SMA, banyak sekali pengalaman yang kuperoleh, ada suka, ada pula duka. Semua itu atas kehendak-Nya, aku hanya bisa berdoa yang terbaik untuk setiap masaku. Sebagai siswa penerima beasiswa full selama tiga tahun, aku punya kewajiban untuk menjaga prestasiku. Namun sayang seribu sayang, aku terlalu tenggelam di bidang akademik hingga lupa untuk memperkuat prestasi di bidang non akademik.
Nilai raporku cukup baik, bisa dibilang bagus, tetapi belum cukup kuat untuk diangkut ke Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SNMPTN. Kesempatan untuk mengikuti jalur ini bukan main-main. Aku berusaha dapetin itu dengan rela pulang malam untuk ikut les tambahan. Alasanku memperkuat prestasi akademik semata-mata agar beasiswaku tidak dicabut. Aku nggak bisa bayangin kalau beasiswa itu dicabut, bisa jadi aku harus kerja keras bagai kuda. Ya meskipun sudah jadi rutinitasku ke sekolah bawa dagangan seabrek. Keliling dari kelas satu ke kelas lain untuk nawarin barang dagangan.
“Makroni-makroni, wafer, coklat, roti-roti” Teriakku dengan menjinjing tas dagangan. Dan menyusuri lorong-lorong kelas sendirian.Sering kali dapat penolakan, masuk kelas orang nawarin tapi nggak ada respon, syukur ada satu atau dua siswa yang beli tiap kelas. Bahkan, ada guru yang borong habis dan dibagikan ke teman sekelasku, entah karena iba atau memang berniat bagi-bagi. Beliau Bu Yuni, guru Seni Budaya sekaligus wali kelas saat kelas X (sepuluh).
Karena dorongan beliaulah aku berani mengambil langkah untuk mangajukan beasiswa. “Coba ajukan aja Khas, kesempatan bagus. Dari pada uangnya buat bayar SPP, mending ditabung buat masa depan, buat kuliah nanti.” Pesan Bu Yuni yang nggak akan pernah aku lupain hingga sekarang.”Iya Bu, terima kasih sarannya. Insyaallah besok saya akan langsung mengirimkan berkas yang diminta. Sekali lagi terima kasih Bu.” Jawabku setuju atas saran yang beliau berikan.
Jujur, hari itu hari terakhir pengumpulan berkas calon siswa penerima beasiswa, sedangkan aku baru bisa mengirim berkas besok. Gelisah, takut, bimbang, semuanya campur aduk. Pikiran negatif mulai memenuhi otakku. Imajinasiku menghitung besar SPP yang aku bayarkan tiap bulan, itu karena khawatir tidak bisa mendapat beasiswa. Artinya aku bakalan membebani keluargaku. Hari itu juga, aku langsung tancap gas ke ruang guru untuk menemui Bu Yuni selaku wali kelasku untuk bertanya lebih lanjut.
“Besok pagi-pagi kamu segera kumpulkan ke saya, karena besok sudah hari terakhir penyerahan.” Terang Bu Yuni dengan senyum yang sedikit menghilangkan kecemasan ini”Baik Bu, besok saya akan segera menemui Ibu pagi-pagi.” Jawabku seraya pamit kembali ke kelas.
Syukur alhamdulilah, aku mendapatkan beasiswa full selama SMA. Kesempatan itu nggak akan aku sia-siakan. Ini amanah, tanggung jawab, sekaligus tantangan tersendiri karena harus bisa mempertahankan prestasi terbaikku. Malas menjadi momok yang menakutkan, sebaik mungkin siswa harus bisa membagi waktu antara belajar dan kegiatan lainnya. Wejangan itu selalu dibisikkan guru tiap kali mengawali dan mengakhiri pembelajaran. Entah karena memang peraturan atau memang kreativitas seorang guru, yang jelas itu menjadi obat pendobrak bahwa aku harus belajar dikala aku harus mengais uang di tengah teman-temanku.
Beruntungnya teman-teman bisa asyik bersenda gurau, makan dengan tenang saat jam istirahat, fokus mengerjakan tugas, sedangkan aku sibuk melayani pembeli meskipun sedang sibuk makan atau mengerjakan tugas. Perasaan saat ada pembeli itu ngeri-ngeri sedap, pasalnya banyak yang nawar harga, bagian ini sering banget menggugurkan calon pembeliku.
Mereka beralasan mahal, isinya sedikit, nggak ada diskon. Plisss ini dagangan mini, bukan toko kelontong. Rasanya pengen nangis kalau banyak calon pembeli yang gugur alias nggak jadi beli. Tapi aku percaya semua sudah ada yang mengatur.Hal yang nggak kalah bikin merinding, tatkala aku harus pulang dengan memikul dagangan yang masih banyak, kadang kala daganganku utuh alias nol rupiah masuk kantong.
Mirisnya, aku nggak bisa ngasih uang Ibu, karena hampir separuh dagangan ini milik Ibuku. Sering nggak tega lihat wajahnya, malu sama diriku karena masih belum becus meringankan beban orang tua. Meski begitu, mereka masih tetap menyayangiku, terbukti di setiap sujudnya terselip namaku.
Harapan orang tuaku agar anak-anaknya nggak buta (minim pendidiakan) layaknya mereka. Mereka selalu memberi sokongan agar nggak perlu risau mengenai biaya pendidikan, tapi hal yang selalu aku pikirkan ya biaya sekolah, apalagi sebentar lagi memasuki tingkat perkuliahan yang pasti nggak murah. Kelulusan SMA di tengah pandemi jadi bombardir keluargaku.
Pekerjaan sepi, pengeluaran menanti. Ketika hendak mendaftar SNMPTN, aku harap-harap cemas karena keluargaku tidak terdata di DTKS (semacam data keluarga kurang mampu). Tanpa beasiswa rasanya nihil aku bisa tembus kuliah. Aku langsung lari ke ruang BK untuk meminta solusi.
Namun naas, hasilnya kosong. Pihak sekolah tidak bisa membantu sejauh itu. Hanya diberi saran untuk datang ke Dinas Sosial. Karena keterbatasan pengetahuan mengenai masalah ini, aku langsung tancap gas ke Balai Desa untuk meminta pengarahan. Lagi-lagi hasilnya zero, aku diputar-putar kayak roller coaster.
Mau nggak mau aku harus daftar seleksi lewat jalur rapor ini agar aku bisa kuliah. Saat menanti pengumuman, aku memikirkan besar UKT yang harus ditanggung karena pasti mahal, tapi rasanya mustahil aku lulus lewat jalur ini. Pengumuman tiba, ternyata benar aku mendapat lampu merah alias ketolak haha. Mulai saat itu, aku mematangkan diri untuk menghadapi ujian SBMPTN yang kebetulan di tahun korona ini hanya TPS aja yang diujikan.
Waktu ujian tiba, semua dijalankan dengan mematuhi protokol kesehatan. Alhamdulillah ujian berjalan lancar. Sekitar dua bulan aku menanti pengumuman SBMPTN. Sekitar jam 15.00 aku mulai menjelajahi Portal LTMPT untuk mengecek lampu hijau plus barcode atau merah lagi haha. Jujur aku nggak berani buka, hp kuserahkan sama kakakku agar dia saja yang buka. Bapak, Ibu pun sudah kumpul di ruang keluarga untuk menanti kabar gembira.
“Jangan berharap lebih dari anakmu ini, kalau ketolak aku sungguh minta maaf.” semenjak penolakan SNMPTN aku sering merasa bersalah karena kayak gagal dengan pencapaianku selama SMA.Jeng jeng jeng, ternyata portalnya kandas alias sibuk. Mungkin karena banyak yang akses. Kita nunggu beberapa menit, akhirnya berhasil.
Kakakku cuma diam saat melihat hasilnya. Aku cuma tengkurap biar nggak jantungan haha. Pada akhirnya kakakku membacakan kalimat yang tertera “Selamat Irkhas Tri Rahmatussolihah, anda keterima di Pendidikan Matematika Universitas Islam Negeri Sunan Ampel pada pilihan pertama”.
Seketika aku sujud syukur, teriak kegirangan, peluk anggota keluargaku. Rahasia Allah sudah terbongkar, Allah telah menjawab doa kita semua. Beberapa bulan kemudian, aku menanti pengumuman UKT. Disini masa-masa aku nggak nafsu makan padahal makan hobiku hehe. Betul sudah, entah karma atau apa, aku dapat UKT yang di luar ekspektasiku. Besarnya UKT itu aku rahasiakan, aku nggak tega ngomong sama orang tua. Pilihan untuk mengundurkan diri sempat berkeliling di otakku.
Aku mencoba konsultasi sama kakakku, tapi mereka menyarankan untuk lapor Bapak Ibu saja. Solusinya memang aku harus nurunin ego yang nggak mau merepotkan pahlawanku alias Bapak Ibu. Ternyata mereka nggak marah, kita semua mencari solusi bersama. Tabungan yang aku kumpulkan dari uang saku dan hasil dagangan selama enam tahun, terhitung sejak SMP, karena memang aku persiapkan jauh sebelum aku berjuang menempuh pendidikan di bangku kuliah. Ya meskipun belum separuh dari tagihan UKT.
Akhirnya Bapak megelucurkan uang tabungannya selama bertahun-tahun untuk bayar tagihan yang tenggat waktunya terbatas. Pagi harinya aku langsung menuju salah satu bank yang ditunjuk oleh UINSA. Aku berangkat sendiri dengan hati dag dig dug ser gitu. Gimana nggak? Aku bawa uang banyak yang belum pernah aku pegang sebelumnya. “Uang ngumpulin susah, lenyapnya gampang banget.” Celetukku dalam hati.
Pembayaran berjalan lancar, aku bergegas pulang. Bukti pembayaran kusimpan baik-baik. Semester ini memang sudah lunas, tapi bagaimana semester depan, selanjutnya dan selanjutnya. Lagi-lagi otakku mengkalkulasi, hingga akhirnya Allah menunjukkan jalan lewat temanku yang lebih dulu bisa mendaftar KIP-K. Dia Nur Avia, sahabat karibku sejak SMP. Sekarang mahasiswa salah satu universitas di Jawa Timur.
Dia mengarahkan aku untuk mendaftar KIP-K di UINSA. Entah karena apa, yang jelas atas kodrat sang pencipta aku bisa mendapatkan beasiswa itu dengan mudah. Seleksi Beasiswa KIP-K di UIN memang berbeda karena kita bisa mendaftar setelah dinyatakan diterima sebagai mahasiswa.
Seleksi awal yaitu administrasi, beberapa berkas aku persiapkan jauh-jauh hari dengan harapan tidak ada yang terlewatkan. Beberapa minggu kemudian, pengumuman tahap satu keluar di web resmi UINSA. Alhamdulillah aku lulus tahap satu, untuk lanjut ke tahap dua yaitu wawancara aku harus menyerahkan berkas ke kampus.
Aku berangkat pagi-pagi ke Surabaya naik kereta api lokal. Sudah jadi hal biasa kemana-mana sendiri karena memang jiwa mandiri sudah melekat, hingga mendarah daging di raga ini. Tiba di stasiun aku mencari ojek online untuk menuju ke kampus, rencananyajalan kaki karena jaraknya sekitar 2km. Tapi keluarga menyarankan untuk naik ojek saja.
Selanjutnya adalah tahap wawancara, karena kondisi pandemi sehingga wawancara digelar melalui virtual meeting. Saat itu aku kesulitan untuk mengakses karena kondisi sinyal di rumahku yang buruk. Aku mondar-mandir mencari sinyal, akhirnya aku mendapatkan sinyal bagus ketika di teras rumah. Ada meja di sana, aku segera ambil kursi dan mengolor-olor kabel untu mengisi daya perangkatku.
Beberapa minggu kemudian pengumuman final sudah keluar. Aku segera mengecek dengan hati cemas. Begitu tertera namaku di antara sekitar tiga ratus mahasiswa, aku hanya terdiam. Masih nggak percaya, antara senang atau sedih terharu. Aku masih sembunyikan info ini, karena aku mencari kejelasan terkait pengumuman itu.
Ternyata info tersebut valid, aku bergegas memberi tahu Bapak Ibu. Betapa girangnya mereka, tapi kami senang dalam diam karena benar-benar hanya bisa mengucap alhamdulilah yang tiada henti kala itu.
“Kesempatan ini nggak akan aku sia-siakan, ini amanah, tanggung jawab, sekaligus tantangan untukku. Terima kasih ya Allah atas segala kemudahan yang telah Kau berikan.” Ucapku, dan aku merasa pipiku basah saat itu.
—SELESAI—