Hai, aku Mala! Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Tinggal dan tumbuh besar di Kota Surabaya rasanya seperti permen nano-nano. Yaps! Campur aduk pastinya. Kata orang tinggal di kota besar akan dipandang, namun apalah arti terpandang jika nyatanya untuk bertahan hidup di kota metropolitan tidak semudah melontarkan pujian. Jauh sebelum aku dilahirkan, keluargaku sudah menjadi golongan menengah ke bawah. Tak dapat dipungkiri, baik keluarga ibu maupun ayahku, keduanya berasal dari keluarga sederhana. Sedari awal di bangku sekolah dasar, ibuku menguruskan Kartu Indonesia Pintar untukku. Dengan terselip rasa malu namun terdesak kebutuhan, kala itu ibuku mendatangi ketua Rt di rumahku untuk meminta tanda tangan pada surat pernyataan bahwa kami memang pantas mengurus Kartu Indonesia Pintar (KIP). Tak lain dan tak bukan, tentunya ibu melakukan itu untuk kemudahan dalam menempuh pendidikanku. Ibu memang hanya lulusan SMP, namun kecerdasan dan keberaniannya dalam menyusuri kehidupan tidak kalah dengan mereka yang menempuh pendidikan hingga ke negeri China. Aku terenyuh sesekali kala mengingat hal itu, hingga detik ini. Betapa ia mempersiapkan kemudahan pendidikanku walaupun berbekal keberuntungan dan izin Tuhan. Begitulah awal ceritaku dimulai.
Saat itu, di tahun 2023 namaku tertera pada urutan nomor dua dari daftar siswa yang masuk peringkat 10 besar di kelas. Pada tiap-tiap kelas yang mendapatkan peringkat 1 hingga 10 akan diperbolehkan mendaftarkan diri ke perguruan tinggi lewat jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). Kala itu aku sempat tak percaya, dengan cepat aku mengirimkan dokumen itu ke grup Whatssapp yang berisikan aku dan kedua kakakku. Ya Tuhan! Ini seperti mimpi, kedua kakakku sangat bergembira dan mendukungku penuh untuk meneruskan ke perguruan tinggi. Panggil saja kakak pertamaku dengan sebuta Kak Titi, dan kakak keduaku dengan sebutan Kak Nina. Keduanya sangat bersemangat, mengingat mereka berdua dulu tak diperbolehkan untuk kuliah karena masalah ekonomi dan terpaksa harus bekerja untuk membantu membayar hutang keluarga kami. Tapi karena alasan itu juga, aku seketika pesimis. Bagaimana aku menyampaikan berita ini ke ayah, akankah beliau setuju dengan aku yang sangat ingin berkuliah? Segala pertanyaan dan jawaban kosong terus saja memenuhi kepalaku.
Hari terus berlalu, namun mau tidak mau aku harus menyampaikan hal ini ke ayah. Pada suatu hari, aku mengajak ayah untuk duduk berdua di tepi jalan raya. Di sana, ada warung kopi kecil buatan ayah yang selama itu menjadi sumber penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan kami. Pagi itu, aku ingin berterus terang menyampaikan niatku. Dengan penuh keberanian dan mengambil nafas panjang, aku memulai percakapan itu.”Ayah, di sekolah aku termasuk siswa yang mendapatkan peluang untuk mendaftar ke perguruan tinggi dengan menggunakan nilai rapot. Selama 3 tahun ini, konsisten akan peringkatku di kelas juga termasuk tujuanku untuk bisa melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan. Bagaimana yah, apakah boleh?”, Tanyaku dengan gugup.”Nak, ayah selama ini tidak pernah bisa menjawab pertanyaanmu dengan penolakan. Ayah tidak bisa berkata jangan dan tidak. Namun, tolong dilihat sendiri bagaimana kondisi keluarga kita. Apakah kiranya mampu?”, Begitulah jawaban ayah. Aku sudah menduganya.Ayah memang tak pernah berkata tidak dan berterus terang. Aku tahu itu karena ia tak mau melukai perasaanku. Namun, justru itu yang membuatku bingung. Aku bertanya-tanya apakah memang betul-betul ayah tidak memberikanku izin. Tapi, perjuanganku untuk meyakinkan ayah tak berhenti di situ..”Ayah, ayo kita taruhan! Almarhumah ibu kan dari dulu sudah menguruskan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk kemudahan pendidikanku. Bagaimana jika aku tetap mendaftar lewat seleksi ini dan berhasil mendapatkan beasiswa KIP-Kuliah, maka aku akan melanjutkan untuk berkuliah. Tapi jika SNBP ini gagal dan gagal mendapatkan beasiswa KIP-K, aku nggak akan berjuang lewat SNBT dan yang lainnya. Artinya, aku tidak akan kuliah”, ya ampun apa yang baru saja kukatakan. Berani-beraninya aku mengajak ayahku taruhan. Namun, kala itu kurasa inilah jalan satu-satunya yang harus kutunjukkan untuk meyakinkan ayah. Ayah cukup terkejut dan tersenyum tipis mendengarkan kalimatku barusan. Namun tak disangka, ayah mengiyakan. “Yesss!!”, Begitulah rasanya hatiku saat ayah menyetujuinya. Walaupun rasanya taruhan ini sangat besar, karena lihat saja, aku tidak akan memperjuangkan kuliahku apabila gagal SNBP dan gagal mendapatkan KIP-Kuliah. Jika kuingat-ingat kembali, kalimat itu terdengar konyol dan kurang berpikir panjang. Namun, ada ruang lega di sana.
Hari terus berlalu, memasuki bulan Ramadhan aku berjualan es blewah di tepi jalan raya dekat dengan warung kopi ayahku. Hal itu sudah kulakukan 2 tahun belakangan. Kali ini, niatku berjualan es supaya bisa membeli baju kebaya untuk wisudaku dan menabung untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) nantinya apabila diterima SNBP. Yaps! Itulah yang kutekuni selama sebulan. Tentu saja aku tidak bisa mengandalkan penghasilan warung kopi ayah untuk membayar UKT dan persiapan wisudaku. Karena, warung kopi ayah tak dilengkapi dengan wifi seperti pada umumnya. Jadi, beberapa orang saja yang berlangganan. Saat berjualan, ada saja masalah yang kuhadapi. Uang untuk menabung malah berkurang untuk keperluan di luar perkiraanku. Aku harus membeli makan dengan uang jualan, membeli beras, dan yang lainnya. Aku tidak tega ketika aya mengeluh bahwa uangnya tak cukup untuk membelikan kita makanan berbuka puasa. Apalah daya, aku harus membantu bukan?.
Memasuki akhir bulan Ramadhan, tibalah hari di mana pengumuman penerimaan mahasiswa baru dijadwalkan. Aku sengaja membuka pengumuman itu setelah berjualan, karena aku sangat takut dengan hasilnya. Selama berjualan, aku terus saja gelisah. Dalam setiap do’a di manapun aku berada, aku tak henti-hentinya meminta agar diloloskan. Tibalah aku membuka pengumuman itu, dan ya! Aku lolos SNBP di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya pada pilihan pertama, program studi hukum. Ya Allah, rasanya aku seperti mendapatkan dunia seisinya. Aku merangkul erat kedua kakakku yang menangis karena terharu. Namun di sisi lain, ayah tampak biasa saja. Sebenarnya aku cukup sedih akan hal itu, namun aku percaya jauh di lubuk hatinya, ia bangga padaku. Di sini, ada tradisi bagi-bagi makanan apabila ada yang diterima di perguruan tinggi ataupun mendapatkan pekerjaan. Kendati demikian, aku tak mengapa dan menerima fakta bahwa akulah satu-satunya yang tidak dirayakan demikian. Namun melihat mereka bertiga sehat dan masih bisa merangkulku, aku cukup senang akan hal itu. Sejujurnya, aku cukup kesulitan saat membayar UKT. Di mana pembayaran total dua juta delapan ratus, aku hanya memiliki uang dua juta. Aku mencari-cari uang hasil jualanku dan terkumpul uang dua juta tujuh ratus, pada akhirnya aku meminjam uang ke ayah untuk melunasinya. Oiya, perlu diketahui bahwa penghasilanku satu bulan berjualan tak sampai dua juta. Selebihnya, aku juga memakai uang tabungan yang ayah berikan padaku dahulu semasa SMA. Setelah melewati banyak lika-liku, aku mulai merasakan bangku perkuliahan. Di UINSA sendiri, pengurusan KIP-K dilakukan setelah memasuki perkuliahan.
Aku ingat kala itu, aku lolos tahap 1 dan lanjut mengurus berkas-berkas ditahap selanjutnya. Saat tiba waktunya mengambil formulir di hari kamis, kebetulan aku tak enak badan. Aku sempat tersenggal-senggal saat bertanya pada mata kuliah yang sedang berlangsung sebelum itu. Namun, aku tahu bahwa aku harus tetap kuat untuk menunggu pukul 1 siang dan mengambil formulir. Benar saja, hingga keesokannya di hari Jumat kondisiku semakin parah. Hari itu aku harus menaruh formulir yang telah kuisi. Pada hari itu juga aku berangkat PAMP ke daerah Mojokerto. Aku benar-benar lemas, namun aku harus menyerahkan formulir ini hari itu juga. Karena dilihat dari kondisiku, sepertinya hari senin aku tak akan masuk karena kondisiku yang memburuk. Kedua kakakku sudah melarangku untuk berangkat ke kampus di hari itu, begitu juga dengan ayah. Namun, aku tetap bertekad untuk tetap menyerahkannya saat itu juga. Karena pada dasarnya keras kepala, setelah turun dari motor yang dikendarai ayah, aku merasa kakiku lemas dan tak mampu menyangga tubuhku. Namun lagi-lagi aku bertekad, aku sudah sejauh ini. Hingga akhirnya aku berhasil berjalan tertatih-tatih dengan dibantu oleh Rosi teman kelasku. Alhamdulillah, aku berhasil. Setelah itu, benar saja setelah 3 hari mengikuti PAMP aku memeriksakan diri ke puskesmas dan aku selama itu terkena tifus(tipes). Wah, aku sangat bangga pada diriku kala itu. Disaat yang lain mendapatkan perawatan dikala sakit, aku masih bisa melakukan hal-hal kemarin. Hahaha maaf bila terkesan membanggakan diri, tapi aku benar kan? Proud of me, why not?
Tiba di tanggal 4 Oktober 2023. Hari itu bertepatan dengan hari ulang tahunku. Aku mendapatkan kado spesial yakni pengumuman penerima beasiswa KIP-K. Tentunya, ada namaku di sana. Kalau bisa digambarkan, mungkin aku seperti telah menyelesaikan pembangunan candi. Aku merasa Tuhan berturut-turut memberikanku kemudahan untuk berkuliah walaupun awalnya aku merasa itu mustahil. Senang, bersyukur, segalanya menyatu dan menyejukkan hatiku kala itu. Ingat dengan taruhan saat itu? Yaps! Aku berhasil membuktikan pada ayah bahwa ekonomi bukanlah penghalang untuk berkuliah. Disertai dengan tekad dan optimis mendapatkan beasiswa KIP-K, aku memenangkan permainan taruhan itu. Aku berhasil dan aku percaya ayah sama bangganya dengan kedua kakakku.Hari terus berlalu, Oktober hampir menyentuh akhir bulan. Sebelum itu, aku gembira melaksanakan rutinitasku sebagai mahasiswa baru. Ayah mengantarkanku saat berangkat, dan aku menggunakan layanan ojek online untuk pulang. Tentu saja aku bisa karena menggunakan beasiswa KIP-K. Beasiswa itu sangat membantuku dalam perkuliahan seperti ongkos perjalanan dan penugasan. Tentunya hal itu mengurangi beban keluargaku dalam hal keuangan. Perlu diketahui bahwa kedua kakakku masih terus mendukungku. Kak Titi, kakak perempuan pertamaku selalu mempersiapkan bekal makanan untukku. Karena perkuliahan dimulai jam 6 pagi, ia rela bangun pagi-pagi buta untuk mempersiapkan bekalku. Aku sangat terharu akan hal itu. Karena, Kak Titi telah berkeluarga, namun ia tetap memikirkan kebutuhanku. Demikian juga dengan Kak Nina, ia selalu berusaha menyediakan segala keperluanku. Sepert anak muda pada umumnya, ia selalu siap sedia mepertanyakan apakah sunscreenku habis. Hahaha, itu manis bagiku. Sebisa mungkin mereka melakukan hal-hal yang mereka mampu untuk mendukung kelancaran perkuliahanku.
Di sinilah letak akhir ceritanya. Kak Titi, salah satu orang yang paling berpengaruh atas semangatku menempuh pendidikan menghembuskan nafas terakhirnya di akhir Oktober tahun itu. Aku merutuki diriku yang belum bisa membalas kebaikannya. Bahkan, aku tak ingat apakah aku telah menyampaikan padangmya bahwa aku lolos sebagai penerima beasiswa KIP-K. Yang aku ingat, saat itu aku sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan tugas kuliah. Hingga aku lupa, sebentar saja aku melewatka obrolan bersamanya, saat itu juga ia pergi, selamanya. Aku berteriak histeris di hari kematiannya. “Kak bangun kak, kan aku sudah dapet beasiswa. Katanya mau lihat aku jadi sarjana. Kok ninggalin aku sekarang? Nanti aku wisuda ditemani ayah sama Kak Nina aja dong berarti? Gamau kak!”, Begitulah kiranya kalimat spontan yang berulang kali aku lontarkan. Hingga aku sampai pada hari ini, ribuan helaan nafas panjang telah kulakukan sebagai tanda bahwa aku telah mencoba ikhlas. Seluruh dunia bahkan penduduk langit tahu atas besarnya pengaruh Kak Titi untuk meyakinkanku bahwa aku bisa. Sekarang, aku semakin bertekad untuk meyelesaikan perkuliahanku dan meraih cita-cita kita yakni sebuah gelar sarjana itu. Meratapi yang pergi tak akan membuatnya kembali. Namun bangkit bersama gemuruh semangatnya, itulah yang menjadikannya berharga. Dari situlah aku tersadar, tak akan ada yang mustahil apabila didasari niat yang baik dan tidak berprasangka buruk.