Pukul 13.00 aku termenung di dalam kamar mandi, pada saat itu aku akan berangkat untuk kembali ke pesantren di mana aku menimba ilmu selama hampir tiga tahun lamanya. Pikiranku tertuju pada tujuanku selanjutnya setelah lulus dari pesantren, apa yang akan aku lakukan setelah ini. Aku bukanlah anak dari orang yang berada, orang tuaku hanyalah seorang petani yang selalu gagal panen di setiap tahunnya. Menjadi guru ngaji merupakan kerja sampingan orang tuaku yang gajinya tidak seberapa dibandingkan guru sekolah. Makan pun seadanya, bahkan pernah hampir tidak makan karena tidak memiliki beras untuk di makan. Orang tuaku membiayaiku dengan adikku hanya bermodal tekad dan doa, tidak mungkin bisa membiayai aku untuk melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya.
Harta memang bukan segalanya, tapi segalanya memerlukan harta, bukan berarti aku tidak percaya dengan kuasa Allah, namun aku hanya tidak ingin menjadi beban berat bagi orang tuaku. Sudah cukup selama ini mereka membiayaiku hingga lulus Madrasah Aliyah, aku tak ingin lagi menjadi beban orang tuaku. Aku masih memiliki adik yang masih perlu menempuh jalan yang panjang, ia masih belajar di Madrasah Tsanawiyah di pesantren yang sama denganku. Jalannya masih sangat panjang, sedangkan aku masih bisa mencari jalan lain untuk melanjutkan hidupku dengan bekerja demi membantu ekonomi keluarga.
Aku menjerit dalam diam, mengapa pilihannya begitu sulit untuk kupilih. Aku hanya memikirkannya sendiri tanpa bertanya kepada orang tuaku karena aku tahu jika aku bertanya pasti mereka tetap mendorongku untuk kuliah.
Di pesantren aku kembali bertemu dengan teman-temanku yang telah menemaniku selama tiga tahun, berbincang mengenai banyak hal salah satunya adalah tentang tujuan selanjutnya. Ketika itu aku ingin mendaftar di UIN Sunan Ampel Surabaya, sehingga ketika ada temanku yang bertanya perihal universitas yang akan aku tuju, aku menjawab seadanya meskipun pikiranku berkecamuk apakah bisa aku lanjut kuliah. Pernah terbersit dalam pikiranku bahwa aku akan melanjutkan belajarku di pesantren lagi, namun bukankah hal tersebut juga akan membebani orang tuaku.
Aku bukanlah anak berprestasi yang bisa dengan mudah mendapatkan beasiswa, sehingga harapan orang tuaku untuk menguliahkan anaknya selalu berkecamuk di pikiranku. Orang tuaku berharap besar kepadaku, aku tak mungkin menghancurkan harapan orang tuaku mengingat selama ini aku belum pernah memberikan kebahagiaan kepada mereka. Aku berpikir jika saat ini aku belum bisa membahagiakan orang tuaku, mungkin aku bisa membuat mereka puas dengan kelulusan sarjanaku.
Kembaliku ke pesantren saat itu merupakan sebuah beban bagiku, karena aku harus jauh dari orang tua pada saat aku sangat membutuhkan wejangan-wejangan mereka. Di saat aku mengira penyemangatku hanyalah mereka, aku butuh mereka untuk membulatkan tekadku. Namun aku salah, di pesantren terdapat kyaiku yang senantiasa mengharapkan santrinya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tidak ada alasan bagi seorang santri untuk tidak melanjutkan pendidikannya, Kyaiku berkata kepada para santrinya bahwa santrinya harus melanjutkan pendidikan baik lanjut di pesantren ataupun di universitas. Beliau sangat mengedepankan pendidikan daripada hal lain, meskipun akhlak tetap menjadi nilai utama yang harus dimiliki oleh santrinya.
Pada akhirnya ketika pendaftaran jalur SPAN-PTKIN telah dibuka, aku pun bertekad untuk daftar di kampus yang akan kutuju. Dengan bekal doa dan ridho orang tua, aku mendaftar di lab komputer sekolahku dibimbing oleh guru Bimbingan Konseling. Kubuang jauh-jauh keraguanku berganti dengan sebuah keyakinan bahwa aku bisa masuk di universitas yang kutuju. Ibuku pernah bilang bahwa di mana ada keinginan di situ pasti ada jalan, perkataan tersebut menjadi pegangan kuat bagiku ketika mendaftar di PTKIN impianku. Ibuku adalah penyemangat bagiku, karenanya lah aku memutuskan untuk mendaftar melalui jalur SPAN-PTKIN.
Pada saat pendaftaran, terdapat kolom untuk menyertakan Kartu Indonesia Pintar, aku ingat bahwa di rumah aku memiliki kartu tersebut. Aku pun segera menghubungi keluargaku di rumah melalui akun Facebook ibuku untuk mengirimkan foto Kartu Indonesia Pintar milikku. Aku berharap dengan itu aku mendapatkan biaya UKT rendah agar tidak membebani orang tuaku. Namun, di tengah proses pendaftaran terdapat kendala pada sistem internet di lab komputer sekolahku, sehingga pendaftaran pun ditunda sampai internetnya kembali stabil. Ada sedikit rasa lega di hatiku karena pendaftaran di sekolahku ditunda karena ketika aku belum mendapatkan foto Karti Indonesia Pintar dari ibuku. Semoga di pendaftaran kedua dilancarkan oleh Allah.
Hari yang aku nantikan pun tiba, hari di mana aku harus mendaftar dan memvalidasi dataku di web pendaftaran UIN Sunan Ampel Surabaya. Aku memantapkan hatiku lagi sebelum memvalidasi dataku, aku berdoa semoga ini adalah jalan terbaik untukku dan aku berdoa semoga aku diterima di universitas yang aku inginkan.
Beberapa hari kemudian, saatnya pengumuman lolos jalur SPAN-PTKIN, aku pun bergegas menuju kantor pondok untuk melihat pengumuman tersebut. Aku hanya bisa pasrah kepada Tuhan semesta alam, aku telah berusaha sebisaku, hasilnya hanya tuhan yang tahu. Aku pun memasukkan ID pendaftaranku di web pengumuman lolos UIN Sunan Ampel Surabaya melalui ponsel salah satu pengurus pondok. Betapa bahagianya aku, aku lolos di jalur SPAN-PTKIN, aku pun segera menghubungi orang tuaku untuk menyampaikan kabar bahagia tersebut. Namun perjuanganku tak hanya sampai di sini, kerabatku pernah mengatakan jika memiliki Kartu Indonesia Pintar bisa mendaftar beasiswa KIP-K dan akan terbebas dari tanggungan pembayaran UKT.
Ketika sudah berada di rumah, aku pun menghubungi senior agar dimasukkan di grup info KIP-K, di sana membahas berbagai informasi tentang apa saja yang harus dipersiapkan untuk mendaftar beasiswa KIP-K. Awalnya aku ragu, karena salah satu persyaratannya adalah memiliki sertifikat penghargaan, sedangkan aku tidak memiliki prestasi apa pun. Aku pun bertanya kepada salah satu senior yang bertanggung jawab memberikan informasi tentang KIP-K, apakah masih ada kesempatan bagiku untuk menerima beasiswa KIP-K. Jawabannya cukup membuatku puas, aku pun kembali yakin dengan tujuanku.
Aku mempersiapkan segala persyaratan yang harus disertakan ketika pendaftaran nanti agar ketika tiba waktunya pendaftaran, aku bisa segera menyelesaikan pendaftarannya. Mengingat banyaknya berkas yang harus dipersiapkan untuk pendaftaran. Aku berkali-kali pergi ke balai desa untuk meminta beberapa surat keterangan yang harus disertakan pada saat pendaftaran. Di antaranya surat keterangan penghasilan orang tua, yang mana penghasilan orang tuaku hanyalah sedikit setiap bulannya, butuh alasan yang cukup untuk meyakinkan pihak perangkat desa. Aku tidak sendiri, melainkan bersama temanku yang juga berjuang untuk mendapatkan beasiswa KIP-K.
Aku mendapat dukungan penuh dari keluargaku untuk mendapatkan beasiswa KIP-K, maka dari itu aku pun bersemangat untuk mempersiapkan segalanya. Aku bahkan rela pergi ke sekolahku yang jaraknya cukup jauh dari rumahku untuk mengambil ijazahku dan meminta legalisir dari kepala sekolah. Aku berangkat pagi-pagi sekali agar dapat bertemu dengan guru yang bertugas untuk memberikan ijazah sebelum jam kuliahku di mulai. Namun sesampainya di sana guruku sedang berada di dalam kelas, aku pun menunggu beliau dan alhasil aku menunggu dengan mendengar penjelasan dosen. Setelah semua berkas telah terkumpul, aku pun segera mengunjungi website pendaftaran KIP-K untuk mengumpulkan segala berkas yang telah kusiapkan.
Pengumuman lolos tahap pertama sudah beredar, aku sangat bahagia karena aku lolos di tahap pertama. Namun masih ada satu tahap lagi yang harus aku tempuh, yaitu wawancara. Pada saat wawancara aku berbicara apa adanya tanpa ada yang aku tutupi karena memang kondisi ekonomi keluargaku tidak perlu ditutup-tutupi. Rumahku hanyalah rumah reot yang berdinding anyaman bambu dan beralaskan tanah, tidak ada keramik ataupun tembok bata. Aku berharap besar di tahap wawancara ini, karena tahap ini merupakan penentu aku diterima atau tidak untuk mendapatkan beasiswa KIP-K.
Setelah tahap terakhir terselesaikan, aku menanti pengumuman dengan harap-harap cemas. Aku sangat khawatir jika aku tidak diterima. Namun kekhawatiranku tak terbukti, aku lolos dan mendapatkan beasiswa KIP-K. Aku sangat bahagia bisa meringankan beban orang tuaku meskipun hanya dengan beasiswa KIP-K. Setidaknya aku bukan lagi beban bagi orang tuaku. Kini orang tuaku hanya perlu fokus untuk membiayai adikku yang masih memiliki jalan yang panjang.