Abdul Mun’em Choiri – Aku yang Putus Asa di Hadapan Tuhan yang Maha Kuasa

Ini adalah sebuah kisah perjuanganku mendapatkan beasiswa KIP-K di tengah keadaan yang tidak baik-baik saja. Aku mendapatkan musibah setelah lulus dari MA Nurul Jadid. Di tengah kondisi sakit, Aku berusaha sekuat tenaga membantu menutupi beban keluarga, salah satunya dengan mengikuti program beasiswa KIP-K. Alhasil, aku memperoleh beasiswa di tengah kondisi sakit dan ekonomi keluarga yang sulit. Lantas bagaimana cerita perjuangannya? Simak berikut !

Ini adalah sebuah kisah nyata paling pahit yang aku alami selama hidup di dunia. Kisah yang dipenuhi dengan alur yang tak bisa diatur oleh sutradara. Kisah yang belum pernah tayang di film Korea. Bahkan ini adalah kisah yang tak bisa diatur oleh pimpinan-pimpinan Negara di dunia. Wajar, ini adalah pengalaman hidupku sendiri, tidak ada yang bisa mengaturnya kecuali dzat yang menciptakanku, yaitu Allah itu sendiri.  

Siapa sangka, setelah keluar dari Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo yang bertepatan dengan kelulusan Madrasah Aliyah di bulan Ramadan, Aku mengalami kecelakaan serius bersama temanku. Waktu itu, aku dan temanku tak ada yang mengira itu akan terjadi. Tepat malam Jum’at, Aku berada di luar kota, menjalin silaturrahmi ke rumah teman pondok. Ketika perjalan pulang itu, Aku dan temanku yang menyetir sepeda mengalami kecelakaan parah, sehingga Aku dilarikan ke rumah sakit terdekat.  Kata dokter, Aku harus diberikan perawatan intensif dan segera dirujuk ke Rumah Sakit dengan peralatan yang lengkap. Sedangkan kecelakaan itu jauh dari kota aku tinggal.

Tragedi ini membuat keluarga dan temanku “kaget”. Aku yang dulu ketika di pesantren dikenal dengan pendiam dan tidak nakal. Kini ketika waktu keluar dari pesantren , Aku mengalami kecelakaan parah. Tak ada yang menyangka, soalnya, orang yang di pesantren nakal, di luar pesantren mereka baik-baik saja. Mereka tidak mendapat karma dari pesantren.  

Ini adalah sebuah keanehan, orang orang yang baik di pesantren belum tentu baik di luar, dan sebaliknya orang yang nakal di pesantren belum tentu nakal di luar. Mungkin Aku adalah orang yang nakal di pesantren namun cuma Allah yang mengetahuinya, sehingga aku diberikan pelajaran ketika keluar dari pesantren. Atau Aku adalah orang yang “sok” baik dihapadan orang lain sehingga diuji tuhan agar kembali kepada kebaikan yang sebenarnya. Entahlah, itu semuanya sudah skenario Tuhan. Aku tidak bisa membantahnya. Ini adalah musibah.

Raut wajah orang tuaku sudah tak karuan ketika mendatangiku di Rumah Sakit, kadang tersenyum, kadang susah. Mungkin, senyumnya guna menyemangatiku dan sedihnya adalah tak rela melihat kondisi anaknya terbaring dengan kondisi kritis. Selama dua hari di Rumah Sakit, teman-teman pondokku berbondong-bondong menjengukku. Namun apalah daya, kondisiku yang kritis tak mampu mengingat satu persatu temanku. Aku tak ingat siapa nama mereka meski bertahun-tahun bersamanya, tak ingat siapa yang menyapa dan tak ingat mereka turut mengalami rasa luka. Manusia mana yang rela melihat temannya bertahun-tahun bersama, terbaring dalam kondisi tidak bisa apa-apa? .

Singkat cerita, waktu aku kecelakaan, bertepatan dengan kesibukan mahasiswa baru melakuakan pendaftaran Perguruan Tinggi. Kondisiku yang sakit parah, tak berdaya untuk mendaftar UMPTKIN dan jalur pendaftaran lainnya yang disediakan oleh pemerintah. Sebelum kecelakaan, aku sudah pernah lulus lewat jalur SPANPTKIN di UIN Sunan Kalijaga. Kelulusan itu di-cancel akibat Aku tidak melakukan her-registrasi karena sakit parah. Di saat itulah, pikiranku mulai berada di ambang  keputusasaan. Aku sudah tidak berminat untuk kuliah. Tidak berminat melanjutkan pendidikan. Tidak berminat untuk melakukan aktifitas lainnya. Serasa ingin cepat-cepat pindah dari dunia. Di samping kondisiku sakit parah, ekonomi keluarga sudah krisis akibat membayar pengobatan ke Dokter. Akan tetapi, panggilan kasih sayang orang tua menyapa hati yang rapuh.

“kamu gak mau kuliah?” 

“gak tau pak, sudah males” 

“kuliah dah nak, bapak bisa bayarin kok, penting kondisimu sehat, bapak usahakan. Sana cari perguruan tinggi yang lain”.

Aku pun merenung sejenak. Suara itu mendorong untuk memulai hal yang baru. Akhirnya Aku bergegas meminta tolong kepada Bapak untuk mengambilkan gadged-ku untuk mencari perguruan tinggi yang masih  dibuka pendaftarannya. Tanpa disengaja, Aku menemukan kampus papan atas yaitu UIN Sunan Ampel Surabaya yang masih membuka jalur mandiri. Aku pun meminta izin kepada Bapak bahwa akan mendaftar di UIN Sunan Ampel dengan biaya paling murah sekitar 3 juta. Bapak pun menjawab, “iya tidak apa-apa insyallah orang yang mencari ilmu diberikan kemudahan dalam rezeki meskipun sekarang kondisinya masih krisis”.

Waktu itu, aku masih belum bisa jalan karena tulang kaki kanan bengkak. Jadi, yang mengurus semua berkasnya adalah Paman saya. Sedangkan, teman-temanku waktu itu sudah diterima kampus-kampus Negeri, dan Akupun masih dalam kondisi sakit.

Selain fisikku sakit, secara kasat mata mentalku juga sakit. Aku merasakan hal yang berbeda dengan teman yang lain. Meski disemangati oleh Bapak, ada saja perasaan putus asa karena kondisi kritisku. Sebulan setelah daftar, aku pun mengecek kelulusan dan  diterima di kampus UINSA. Pikiranku sedikit tenang sejenak. Pikiranku berkata, “Akhirnya Aku bisa kuliah juga meski dalam kondisi sakit”. Saat itu pula pada malam harinya, aku merenung. Seolah pikiranku ingin bermain empat mata kepadaku. 

Ia berkata :

“ Malu rasanya kamu berputus asa sedangkan tuhanmu itu maha kuasa. Ia bisa saja memberi apa yang kamu minta, tapi Allah lebih tahu apa yang layak kamu punya. Kamu jangan khawatir dengan kondisimu sekarang. Tuhan itu tidak akan pernah membebani hambanya melampaui kesanggupannya. Ingat, setiap ada kesusahan pasti ada kemudahan. Pikiranmu terlalu hancur dengan angan-angan masa depanmu sedangkan tuhanmu telah mengatur apa yang akan menjadi milikmu di masa mendatang. Jadikan ini pelajaran, bahwa tuhan memberimu ujian bukan karena marah, tapi Allah hanya ingin mengujimu agar tetap tabah”. 

Beruntungnya saat itu kuliah masih bisa dilaksanakan secara online, jadi aku hanya bisa on-camera sebentar lalu offcamera karena kondisi kesehatanku masih belum stabil. Hari demi hari aku lalui, kuliah demi kuliah aku ikuti. Sebulan berjalan masuk perkuliahan, lalu aku mendapatkan info dari instagram @uinsa.official bahwa ada pedaftaran KIP Kuliah. Aku mencoba searching persyaratan dan info lengkap KIP K. Ternyata, persyaratannya cukup sulit. Meskipun sulit, Aku memiliki inisiatif untuk mengikutinya mengingat ingin meringankan beban orang tua pasca musibah. Pada saat itu kondisi ekonomi keluarga benar-benar krisis akibat membayar pengobatku sedangkan waktu itu aku masih sakit, jadi tidak bisa bergerak bebas. Akan tetapi kaki kanan yang bengkak sudah mendingan, tinggal tangan kanan yang patah dan luka dalam bagian ginjal dan paru-paru yang masih sedikit terasa. 

Kondisi ini tak menurunkan semangatku untuk mengikutinya. Aku berusaha menggunakan tangan kiriku mengurusi berkas menggunakan laptop. Ketika minta surat pernyataan tidak mampu ke Desa, aku pun meminta bantuan kepada tetangga agar mengantarkanku. Bapak saya sibuk ada di sawah, Ibu saya tidak bisa menyetir sepeda dan Paman yang membantuku dulu sudah kerja ke luar Kota.  

Aku tidak memberi tahu kepada siapa-siapa bahwa aku mendaftar KIP-K. jika ditanya mau ngurusin apa?, aku pun menjawab buat persyaratan kuliah. Pada saat proses print berkas, aku pun juga yang mengurusinya dengan kondisi tangan kanan yang digendong akibat patah.

Pengumuman kelulusan tahap I, Aku lulus berkas dan masih belum memberi tahu kepada siapapun. Aku hanya ingin memberikan surprise kepada orang tua. Berkas untuk tahap ke II masih dengan kondisi yang sama, aku tetap minta antar ke tetangga dengan menggendong tangan kanan yang patah. Pada saat tes wawancara dimulai, aku pun tengah percaya diri aku akan diterima. Aku lancar menjawab semua pertanyaan yang diberikan. Bukannya sombong, Aku sudah sering menjuarai berbagai perlombaan sehingga akses untuk mendapatkan KIP-K masih memungkinkan. Akhirnya ketika hari pengumuman kelulusan tiba, aku pun resmi diterima.

Aku bergegas ke kamar orang tua, dan bilang kalau mendapatkan beasiswa KIP-K. Ibu menjawab, 

“kapan kamu daftar?”.  

“Itu yang ngurusin bu, yang bilang buat kuliah”.

 “Yallah nak, Alhamdulillah”. 

Ibuku menangis. Dan Akupun menangis juga. Tangisan ini bukan simbol kelemahan, tapi simbol bahwa aku memiliki perasaan. Perasaan bahwa dalam kondisi apapun harus tetap bisa mebahagiakan orang tua. Siapa yang tak tega melihat Ibunya menagis, baik karena sedih atau bahagia. Meskipun Aku sudah membuat susah orang tua akibat kecelakaan setidaknya ini adalah obat dari kelukaan itu obat dari pengeluaran biaya orang tua menyelamatkan anaknya dan salah satu cara menutupi krisis ekonomi keluarga. Aku pikir ini adalah ganti dari kegelisahan selama ini. Perjuanganmu tidak sia sia.  

Memang benar apa yang ada dipikiranku malam itu, Kamu akan mendapatkan keajaiban secara tiba-tiba jika itu sudah menjadi kehendak-Nya. Sesulit apapun kondisimu, harus tetap berpikir positif, karena itu dapat menenangkan hatimu. Musibah bukan berarti Tuhanmu kejam, tapi agar kamu mengenal Tuhanmu lebih dalam. Luka yang membuatmu sengsara adalah cara tuhan mengujimu agar nantinya bisa hidup bahagia. Lanjutkan ambsisimu, the dreams will come true.

*Penulis merupakan mahaiswa aktif prodi tasawuf dan psikoterapi UIN Sunan Ampel Surabaya dan pernah putus asa akibat tidak mempercayai keajaiban tuhannya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *