Suara detik jarum jam terdengar kencang mengusik tidurku. Dengan perlahan kubuka mataku seraya memandang langit yang begitu hitam dan pekat tertutup oleh mendung. Aku menunggu tetesan pertama air hujan jatuh diwajahku, namun tetesan itu tak kunjung jatuh diwajahku. Aku masih tetap menunggu dan memandang langit hingga akhirnya gerombolan awan hitam pekat itu pudar dan hilang, kini tinggal sang mentari yang kembali menyapa pagiku dengan senyumnya.
Saat itu pula aku langsung duduk terdiam di rooftop pondok. Seketika itupula aku ingat kejadian dua tahun yang lalu ketika aku gagal masuk PTN dua tahun berturut-turut. Disaat aku punya ambisi yang sangat kuat untuk cita-citaku, disaat aku memiliki tekat yang kuat untuk menggapai impianku dan saat itu pula semua lenyap begitu saja. Semua hancur tak berkeping semua telah tiada. Ketika ingat kejadian itu rasanya sakit hati ini sakit mata ini dan sakit raga ini olehnya. Aku ingin marah aku ingin mengamuk. Ingin rasanya diri ini memberontak tidak terima, namun apalah dayaku sebagai seorang hamba Allah yang hanya bisa menerima takdir ini. Menerima takdir dengan keterpaksaan dan ketidakterimaan dalam hati. Andai waktu bisa ku ulang kembali mungkin aku tak akan mengalami hal yang demikian itu.
Namaku Arsyi. Saat ini aku sedang duduk di semester 2 Universitas Islam Negeri Sunan Ampel. Didalam secarik kertas ini aku ingin menceritakan kisahku yang mungkin tidak seberat kisahmu, namun pada intinya kita sama, kita adalah penyesalan yang tak berujung. Kumulai dari sini, dari kisahku yang begitu membuatku terlena hingga akhirnya berujung petaka. Yahhh tepat 2 tahun yang lalu ketika aku bersemangat memiliki tekad yang kuat memiliki tekad yang membara untuk kuliah tapi semuanya hilang, semuanya sirna begitu saja. Kenapa? Karena pada saat itu semuanya berbanding terbalik. Ketika aku tidak diterima disebuah perguruan tinggi semua jalur tes kulalui tapi semuanya menolak, waahhh hancurnya bukan main. Tapi itu hanya sementara, perasaanku campur aduk ketika aku tau ternyata saudara kembarku lolos semua jalur yang dia ikuti. Saat itu pula aku menjadi putus asa, hilang semua rasa semangat yang ada dalam diriku. Wajah ceria yang sebelumnya selalu tampak sumringah, seakan semuanya hilang tak tau kemana. Bagaimana tidak! Saudaraku dilarang orangtuaku untuk kuliah, padahal dia juga sangat pengen bisa kuliah. Tapi dia harus menemani ku yang tidak lolos kuliah ini. Nelongso bukan? Harapanku hancur seketika itu juga. Tak henti-hentinya air mataku mengalir hingga rasanya air mataku kering taka da lagi air mata yang tersisa. Nafsu makan yang dulunya selalu memanggil–manggilku, saat itu hilang tak tau kemana. Satu minggu lamanya aku mengurung diri dalam kamar, aku tidak ingin bertegur sapa dengan siapapun bahkan itu orangtuaku sendiri. Hinga akhirnya aku sakit aku terkena Magh karena beberapa hari kurang asupan makanan.
Aku menangis lalu merangul ibuku yang saat itu juga menangis disampingku. Semua terasa hening dan penuh makna. Akhirnya aku mengatakan ke ibuku bahwa aku sudah ikhlas dengan pilihanku dan aku paham bagaimana kekhawatirannya. Dengan penuh ketenangan dan kesadaran aku dan saudaraku mengambil keputusan untuk melepaskan kampus dan mengambil jalan lain.
Saat itu yang ada dipikiranku hanyalah Allah yang tidak adil terhadap diriku. Semua orang seakan menjadi menyeramkan, mereka tidak ada yang bersahabat denganku. Tapi aku masih beruntung masih punya kedua orangtua yang selalu menyemangatiku. Akhirnya aku dan saudaraku memutuskan untuk kuliah disebuah lembaga pembelajaran yang mana disana hanya diploma satu atau D1 yang langsung mengantarkan ke pelatihan pekerjaan dan bisa langsung kerja.
Pertama kali kekota besar sungguh sangat menantang sekali, mulai dari ditipu sopir bis, HP lowbat, sampai-sampai ingin menyerah dijalanan. Namun aku masih semangat untuk sampai ketempat tujuan. Karena memang ini sudah menjadi pilihanku aku harus bener-benar serius tidak boleh berhenti dijalan apalagi baru memulai perjalanan.
Singkat cerita, akhirnya dikota besar aku menemukan sebuh mondok dan aku merasakan kenyamanan disana. Memang benar disana aku merasakan kenyamanan namun satu hal yang tidak akan bisa aku lupakan yaitu aku merasa diriku ini bagaikan batu kerikil diantara Mutiara-mutiara yang berkilau. Bagaimana tidak? aku sama sekali tidak paham apa itu bahasa arab, surat-surat dalam Al Quran banyak yang tidak hafal dan ketika ngaji ditanya ini itu aku cuma bisa diam menundukan kepalaku. Setiap malam aku menangis aku ingin pulang karena dipondok rasanya sudah gak karuan aku benci diriku aku malu, itu yang selalu terngiang-ngiang dikepalaku. Hingga pada akhirnya aku ditemui oleh pengurus pondok beliau mendapatiku yang sedang menangis dirooftop pondok. Aku menceritakan semua yang aku alami. Beliau hanya tersenyum dan mengatakan “Masak Cuma gini aja boyong? kalau tidak sekarang kapan lagi? mumpung masih muda lo dek,” kata – kata itu yang selalu terngiang-ngiang mengitari kepalaku. Sampai pada akhirnya aku diantar sowan ke Abah Yai untuk minta nasihat beliau mengenai keputusanku untuk boyong ini.
Sampai di pondok ndalem atau pondok yang disinggahi oleh Abah Yai, hatiku sudah merasakan ketakutan tersendiri bingung dengan apa yang harus aku katakan nantinya, dan aku juga malu aku ini bodoh. Setiba disana aku sama sekali tidak berani memandang wajah beliau, aku hanya bisa menunduk dan mendengarkan nasehat beliau. Kata demi kata yang beliau nasihatkan sangat mengena sekali pada diriku, aku meneteskan air mata yang begitu hangatnya. Aku merasakan bahwa yang dikatakan beliau sangat berarti sekali bagi diriku.
“Jika kamu belum bisa berbuat amal soleh dan kebaikan, maka senanglah kepada orang melakukan amal sholeh dan kebaikan. Karena bisa jadi orang yang kamu senangi itu akan menjadi penolongmu diakhirat, diakhirat nanti kita akan bersama dengan orang-orang yang kita cintai”
Dari kata-kata itu aku bisa menyimpulkan bahwa aku dipondok ini sudah benar sudah tepat, dipondok inilah aku bisa mencintai orang-orang yang alim dan ahli ibadah itu, kalau tidak disini dimana lagi? Dikosss? sangat tidak mungkin sekali. Aku merasa kata-kata itu sangat pas sekali dengan diriku yang bodoh ini sehingga dari kata-kata itu aku memiliki semangat lagi untuk bangkit. Dari situ aku sudah tidak mempermasalahkan masalaluku lagi, ini adalah waktunya untuk belajar menjadi lebih baik lagi dan tidak perlu merasa malu justru malah harus bersyukur masih diberi kesempatan dan dipertemukan oleh Allah dengan orang-orang yang ahli agama. Memang semua itu sangatlah tidak mudah karena bisa dibilang harus memulai semuanya dari awal. Tapi bagaimanapun juga itu adalah konsekwensinya dulu aku tidak mau dipondokan oleh orangtuaku. Dibantu dengan ustadzah-uztadzah dan mbak-mbak lainya dipondok aku bisa berkembang meskipun sedikit demi sedikit, Alhamdulillah lebih baik dari sebelumnya.
Setelah lulus D1 aku terus berusaha mengejar cita-citaku yang dulu telah hancur, kugali lagi semangatku, belajar setiap hari, ikut bimbingan online, mencari motivasi-motivasi. Dan alhamdulillah Allah membukakan jalan untukku bisa kuliah S1. Tapi masya Allah kejadian tahun itu terjadi lagi. Aku yang dulunya tidak diterima kampus manapun kini diterima dua kampus sekaligus. UINSA Manajemen dakwah dan UNESA Pend.kewarganegaraan. waahh senangnya bukan main, tapi saudaraku tak satupun yang lolos. Deggg … astagfirullah kejadian itu terulang lagi.
Pada akhirnya aku memutuskan untuk mengambil S1 Manajemen Dakwah UINSA dan saudaraku mengambil S1 Manajemen UNUSA. Alhamdulillah masih diberi kesempatan oleh Allah untuk kuliah, meskipun tidak satu kampus setidaknya bisa sama-sama S1. Setelah menjalani ujian yang begitu subhanallah kini aku dan saudaraku bisa kuliah, dan mendapatkan bantuan KIP. Masya Allah setengah tahun ini aku belum minta uang dari orang tua ku, bayar pondok beli buku makan semuanya pake uang KIP memang harus extra hemat, tapi aku bangga dengan diriku sendiri akhirnya aku tidak menjadi beban kedua orang tuaku. KIP ini tidak akan kulepas harus menjadi milikku sampai lulus kuliah, Alhamdulillah di semester 1 ini aku mendapatkan IPK 3.83 dan saudaraku mendapatkan IPK 4.00. Nikmat tuhanmu yang mana yang kamu dustakan. kuncinya aku harus rajin belajar setaip hari, gak boleh malas-malasan. Yapsss Fighting Arsyi!
Memang sulit disangka, tapi Allah maha segalanya. Ketika mengingat ingat kejadian itu aku masih merasa sedih sekali dan aku tidak menyangka aku bisa seperti saat ini. Alhamdulillah aku mulai menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Kuncinya adalah jika kita mau kita akan mendapatkannya. Tidak hanya berhijrah saja namun juga dilengkapi dengan keistiqomahan, karena berhijrah itu mudah namun yang sulit itu ialah istiqomahnya. Dorongan dari orang-orang terdekat juga sangat mempengaruhi pola pikirku, karena support dari mbak-mbak dan teman santri yang sebaya membuatku lebih semangat lagi untuk belajar. Memang benar mereka menang start tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa aku pasti kalah. Aku mungkin bisa dikatakan sebagai salah satu santri yang dekat dengan Abah Yai dan Ibu Nyai, karena setiap aku merasa ada masalah aku langsung kesana bukan berarti aku tidak mau memecahkan masalahku sendiri tapi aku ingin mendapatkan banyak ilmu dan pengetahuan dari beliau. Aku merasa apa yang dikatakan oleh beliau sangat pas sekali dengan apa yang aku butuhkan, sehingga aku merasa sangat nyaman sekali disana. Aku bisa lebih dekat dengan Allah melalui tirakat-tirakat yang beliau ijazahi. Beliau Abah Yai adalah sesosok orang alim yang sangat luar biasa sekali. Sampai-sampai aku tidak sanggup jika harus menceritakannya dilembaran ini. Semoga beliau selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin….
Aku sangat bersyukur sekali masih diberikan kesempatan memperbaiki diri. Aku ingin melihat capaian apa yang akan aku dapatkan selanjutnya. Takdir yang kuinginkan memang sudah hanyut dibawa angin. Takdir yang kurindukan kubangun kucita-citakan sejak kecil yang begitu indah telah hilang dan diganti oleh Allah dengan takdir lain yang jauh lebih indah. Karena Allah tau mana yang aku butuhkan bukan mana yang aku inginkan. Dan pelajaran berharga yang tak mungkin kulupakan adalah diriku yang pernah menolak untuk kuliah 2 tahun yang lalu. Jika bukan karena dilarang orangtuaku mungkin aku sekarang tidak bisa jadi seperti ini. Sekarang aku paham bahwa tujuan yang luar biasa tidak dapat ditempuh dengan cara yang biasa – biasa dan hanya orang – orang luar biasa yang mampu mengambil hikmah dari sebuah masalah yang pernah dihadapinya….