Oleh: Oki Ciputri
Arsyi adalah seorang mahasiswi disalah satu Universitas di Surabaya. Dia seorang gadis yang sangat aktif dan positif. Keinginannya untuk kuliah telah dibangun sejak kecil, dan saat ini dia telah berada dikampus impiannya itu. Dia bercita-cita ingin menjadi seorang profesor, dengan semangatnya yang tinggi ia optimis bisa menjadi seorang profesor muda yang hebat. Dia juga ingin selama kuliah tidak membebani orang tuanya, harus dibiayai negara alias mendapatkan beasiswa. Oleh karena itu, dia belajar dengan sungguh-sungguh supaya bisa mewujudkan impiannya itu.
Saat ini Arsyi mendapatkan beasiswa KIP-K di S1 salah satu Universitas di Surabaya. Dia sangat senang karena bisa kuliah tanpa menggunakan biaya dari rumah, selain itu dia juga mendapatkan uang saku dari beasiswa itu. Arsyi termasuk mahasiswi yang pandai, baik dalam akademik maupun non akademik. Dia juga mampu me manage uang dan waktu dengan baik. Mengingat dia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ayah dan ibunya adalah seorang petani. Mereka tinggal di sebuah desa dikaki bukit, yang masih terkenal dengan hutannya yang sangat lebat. Selain itu jalan menuju rumah Arsyi pun masih belum bisa dilewati mobil, hanya sepeda motor saja yang bisa sampai kerumah Arsyi. Jalanan masih asli dari tanah yang ketika hujan turun jalanan sangat licin becek dan sulit untuk dilewati sepeda motor.
Menjadi salah satu dari perempuan desa yang kuliah merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi kedua orang tua Arsyi, karena memiliki anak yang masih memiliki cita-cita tinggi untuk kuliah. Sebab didesa itu banyak anak perempuan yang seumuran dengan Arsyi namun sudah menikah. Mereka mengakhiri masa lajangnya diumur yang sangat muda yaitu 17 tahunan. Hampir semua anak perempuan didesa itu sudah hidup bersama suaminya, sehingga ketika Arsyi pulang dari perantauan dia tidak memiliki teman untuk diajak main bersama. Arsyi tetap sabar meskipun ada tetangga yang mengejek nya karena masih kuliah, belum memiliki pasangan hidup. Mereka sering mengolok-olok Arsyi, katanya;
“Wong wedok iku kodrate cuma 3M (Masak, Macak, Manak). Paling yo mlebu pawon cekelan uleg-uleg, ngunu kok sekolah duwur-duwur”. (Perempuan itu kodratnya hanya 3M, masak dandan dan melahirkan. Mungkin nanti juga masuk dapur pegangan uleg-uleg, gitu aja kok sekolah tinggi-tinggi).
Arsyi mengabaikan mereka, dia menganggap semua itu hanya angin lewat, tidak bisa menumbangkan semangat Arsyi yang telah dibangun sejak lama. Arsyi mengingat perkataan kyainya yaitu “Pakis iku semakin tinggi akan semakin kena banyak angin, jadi menuju kesuksesan itu pasti akan banyak rintangan. Seperti halnya angin yang memporak-porandakan pohon pakis”.
Ketika itu mendung sudah berkumpul membentuk suatu kumpulan yang bermacam-macam, menandakan hujan segera tiba. Arsyi yang saat itu sedang membantu orang tuanya disawah matun brambang (mengambil rumput yang ada di tanaman bawang merah) bergegas untuk pulang ke rumah supaya tidak kehujanan, karena jarak rumah Arsyi ke sawah sekitar seratus meter apabila ditempuh dengan jalan kaki, jika menggunakan sepeda motor harus benar-benar orang yang mahir karena medan yang dilewati sangat menantang, naik bukit turun bukit.
Setiba di rumah Arsyi dan bapaknya duduk di dekat perapian untuk menghangatkan tubuh. Mereka bercanda tawa karena sang bapak bercerita zaman dahulu ketika ia masih Sekolah Dasar. Lalu Ibu Arsyi datang sambil membawa bawang merah untuk dikupas.
Byokkk…!!! Suara seombyok bawang merah yang dijatuhkan Ibunya ke tanah.
Lalu sang Ibu meminta bantuan Arsyi untuk mengupasnya. “Nduk tulung Ibuk Nduk”
“Oh, nggeh Buk, sekedap”. Jawab Arsyi sambil berdiri mengambil pisau dan langsung ikut membantu Ibunya mengupas bawang merah.
Thek… thek… thek…!!!
Terdengar suara air hujan yang menerobos lapisan dinding menuju baskom yang tergeletak ditanah. Hanya terdengar suara gemericik air hujan dan gemuruh kala itu. Hening, sungguh hening. Suasana menjadi hening ketika aku ditanya oleh ibunya.
“Nduk, duek mu sek onok piro?” (Nak Uang mu masih ada berapa?).
“Kengeng nopo Buk?” (Kenapa Buk?). Tanya Arsyi keheranan, karena Ibunya tidak pernah bertanya masalah uang kepada Arsyi.
“Mau Ibuk pinjem dulu, Nduk kalo ada, buat modal tanam padi”.
“Tapi saldone kulo namung 200 ewu buk, pripun?” (Tapi saldoku tinggal 200 rb Buk, gimana?). Tanya Arsyi dengan wajah sudah dipenuhi dengan rasa cemas.
“Oalah yasudah. Sekarang itu waktunya tanam-tanam Nduk, ibu bapak tidak punya uang. Tinggal 1,5 jt buat modal tanam padi, bawang merah juga sudah waktunya diobati”. Jawab ibunya dengan mata berkaca-kaca.
“Bawang merah sekarang tidak ada harganya sama sekali. Petani seperti dibuat mainan. Ketika panen tiba harga langsung anjlok. Modal bisa kembali apa tidak kalo sudah begini? Apalagi sekarang bawang merah bapak banyak yang rusak tidak bisa laku tebas harus dibawa pulang. Uang mana lagi yang dibuat bayari orang”. Sahut ayahnya dengan wajah sedih.
“Ya Allah kasihan sekali orang tuaku, seandainya aku punya penghasilan sendiri mungkin bisa bantu mereka, apa iya aku harus bekerja? Tapi kerja apa?” suara hati Arsyi sedang berkecamuk.
Seminggu telah berlalu, Arsyi masih dipenuhi dengan rasa pengen memberi uang untuk orang tuanya, tapi dia bingung harus dengan cara apa supaya dia bisa mendapatkan uang yang banyak. Belum lagi dia harus kembali ke pondok karena liburan telah selesai. Ditambah lagi harus membayar daftar ulang pondok. Ya Allah Astagfirullah… Arsyi berdoa setiap hari, meminta semoga Allah memberikan rejeki yang melimpah untuk keluarganya. Selain berdoa Arsyi juga membantu orang tuanya merawat tanaman sebelum ia kembali keperantauan.
Hari minggu tlah tiba, saat nya Arsyi kembali ke pondok. Arsyi masih bingung harus kembali dengan uang saku darimana. Tiba-tiba,
Klunting…!!!
Bunyi notif SMS hp Arsyi. Arsyi langsung membukanya. Dan ternyata SMS itu dari BTN. Rejeki yang datang tak disangka-sangka datang tepat waktu.
BANK BTN
Kredit Rp. 6.600.000.,00 rek. TQ xxxx199 pada 29/12/2021 15:22:45. Download/update BTN Mobile Banking Anda dg Tampilan baru di Appstore. Info 193874
“Alhamdulillah ya Allah…….!!!”. Teriak Arsyi dengan keras. Saking seneng nya dia langsung sujud syukur. Setelah itu dia pergi menemui ibunya untuk memberitahukan kabar baik itu.
“Pak e mak e…!!! teriak Arsyi menghampiri ibuk dan bapak nya.
“Pak mak uang ku sampun cair, Alhamdulillah Mak. Niki lo Mak panjenengan tingali kiyambak. Huhuhuuu…” (Bapak Ibu uang ku sudah cair, Alhadulillah Buk. Inilo Ibuk lihat sendiri). Kata Arsyi kegirangan.
“Alhamdulillah ya Allah. Gusti Allah pancen sugih” jawab Ibunya sambil melihat SMS di HP Arsyi.
“La terus duek e metune teko endi Nduk?” (La terus uangnya keluar darimana Nak?). Tanya bapaknya dengan begitu lugu.
Memang mereka bisa dibilang gaptek, android pun mereka tidak bisa apalagi komputer dan ATM. Tapi itu bukan masalah bagi Arsyi, meskipun dia berasal dari keluarga yang pendidikannya rendah, namun Arsyi tetap semangat kuliah dan membuktikan pada dunia bahwa dia pasti bisa sukses, atas ijin Allah dan restu orang tua.
“Ambil uang e ya di ATM pak”. Jawab Arsyi dambil sedikit tertawa.
“Oalah”, sahut bapaknya yang ikutan tertawa juga.
“Alhamdulillah Nduk, ada yang bisa dibuat saku sampean balik. Ibuk itu sudah kebingungan sejak kemarin. Mau tak kasih uang darimana anakku. Bapak ibuk setiap hari merawat tanaman tidak pernah bekerja, tidak punya penghasilan, harus nunggu panen dulu”.
“Inggih Bu, Insya Allah niki sampun cekap kok. Katah lo Buk niki. Uwuuuu Alhamdulillah”. Jawab Arsyi mencoba menenangkan Ibunya. Padahal dia sendiri sebenarnya juga bingung, kira-kira cukup nggak ya? Sekarang kan juga ada daftar ulang pondok, ya Allah aku kudu hemat. Hufftt bisa Allah maha Kaya”. Kata hati Arsyi meyakinkan dirinya.
Beberapa jam kemudian, Arsyi akan berangkat ke Surabaya. Ibunya menangis karena tidak bisa memberi uang saku yang lebih kepada anaknya. Ibunya hanya bisa memberi saku 100 ribu, itu pun hanya untuk membeli bensin dan makan di jalan. Karena jarak jumah Arsyi ke pondok kurang lebih 6 jam an apabila ditempuh dengan sepeda motor kecepatan sedang. Supaya bisa menghemat uang Arsyi meminta Ibunya untuk membuatkan bontot an untuk Arsyi. Meskipun itu hanya berupa nasi putih yang dibungkus dengan daun jati dan osengan pindang dan kering tempe, Arsyi tetap mau membawanya.
Arsyi berniat supaya tidak jajan di jalan dia bontot nasi dari rumah, dan ketika lapar dia akan berhenti entah itu di pom atau mushola atau indomaret, yang penting ada tempat untuk menyantap bontot nya itu. Arsyi tidak malu. Dia malah senang karena menurutnya selain berhemat dia juga bisa merasakan kenikmatan makan nasi dibungkus pake daun jati. Mungkin agak terlihat ndeso, tapi nikmatnya sangat luar biasa.
Saat ini Arsyi baru semester 3, dia berusaha sangat keras untuk mempertahankan beasiswanya itu. Dia rela tidak pulang, jauh dari orang tuanya demi menuntut ilmu. Selain itu juga karena menghemat biaya perjalanan pulang yang memakan banyak waktu dan biaya. Untungnya masih ada HP yang bisa menghubungkan antara Arsyi dan orangtuanya, meskipun hanya bisa mendengar suaranya Arsyi senang, setidaknya itu bisa mengobati rasa rindunya terhada orang tuanya.